Kembali Malaysia mempertontonkan ketololannya sebagai sebuah bangsa dengan mengklaim Tari pendet sebagai tari tradisionalnya. Mereka (baca Malingsia) tidak berpikir bahwa negara kerajaan yang dipertuan agung adalah berbasis ajaran Islam yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Sangat gegabah berani mengklaim kesenian dari khasanah budaya Hindu yang wanita penarinya menonjolkan aurat.
Sungguh ironis memang, Malaysia telah kehilangan jatidiri, telah kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan bangsanya sendiri. Tari Pendet adalah klaim kesekian kali setelah Reog Ponorogo, kain batik, wayang kulit, keris, angklung dan masih banyak lagi.
Kalau semua bentuk seni budaya di klaim oleh Malaysia, bagaimana kalau kita gantian mengklaim bahwa malaysia adalah bagian dari Profinsi di Indonesia..? Seperti halnya Irak yang mengklaim Kuwait sebagai profinsi yang terakhir dari Irak.
Kita umumkan saja bahwa malaysia adalah bagian dari Profinsi Indonesia yang ke 34.
dengan begitu adil toh...., mantap toh....enak toh....(Bagaimana reaksinya Malingsia...ha2).
Hayooo...siapa berani mendukung...!!! (Emang enak main klaim)
Nanti lama-lama bisa jadi SBY di klaim sebagai Presidennya. (USR)***
Sumber: http://www.facebook.com/home.php?#/profile.php?id=1115806463&v=app_2347471856&ref=profile

Kemiskinan dan pengangguran masih terjadi dimana-mana, sementara korupsi masih merajalela. Pemandangan orang antri minyak tanah belum bisa terhapus dari negeri ini, apalagi menghapus korupsi yang semakin mengakar. Dalam keterbatasan apakah kita malu mengakui segala kekurangan ini.
Di tengah kegusaran kita sebagai bangsa yang katanya negara demokrasi nomor tiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Mestinya kita bercermin kenapa kita ketinggalan dari Malaysia padahal kita merdeka lebih dulu. Sebagai sebuah bangsa kita bangga karena kita merdeka dengan tetesan keringat dan darah. Sementara saudara serumpun Malaysia merdeka karena pemberian Inggris. Malaysia juga bukan negara demokratis. Mari renungkan bersama bahwa nafsu menimbun, memperkaya diri, dan kekuasaan tidak pernah ada puasnya. Para pemimpin seyogyanya lebih peduli kepada sesama terutama yang tengah menderita, berbagi, membuka diri penuh cinta untuk yang lain.
Inilah kepedulian sosial, apabila dilaksanakan secara simultan niscaya akan terwujud keharmonisan di negeri ini atau di kehidupan rakyatnya. Semoga...!(USR)***
.