Lalampah Ka Baduy
11.53 | Author: Urip SR
Leuit (lumbung padi) suku Baduy, Gula Aren & Tenun (c) Urip SR
Bukan katanya lagi, sekarang menikmati langsung keindahan alam Baduy beserta adat istiadatnya, walau hanya di masyarakat Baduy luar.  Mepetnya waktu sehingga tidak sampai ke Baduy dalam (Kampung Cibeo, Cikartawana, Cikeusik) maklum menuju ke lokasi ini butuh waktu 5 jam jalan kaki.
Seluruh warga Baduy kehidupan ekonominya mengandalkan dari hasil pertanian ladang dengan bercocok tanam pangan padi huma serta tanam pisang, dan umbi-umbian.
Mereka sepanjang hari kesibukan aktifitas diladang serta hasilnya dijual ke penampung di Terminal Ciboleger untuk dibawa ke Pasar Rangkasbitung.
Beberapa hasil ladang itu bila musim kemarau seperti saat ini dijual ke pasar Rangkasbitung, antara lain durian,gula aren,daun serai,pisang,petai,manggis dan aneka kerajinan tangan juga budidaya madu hutan.
Menurut Ki Sanati (65), selama ini petani Baduy mengembangkan pertanian tanaman pangan tanpa menggunakan pupuk kimia  karena bertentangan dengan adat setempat. Penggunaan pupuk kima itu,kata dia, selain dilarang oleh kebiasaan adat, juga bisa menyebabkan rusaknya alam lingkungan.
Oleh karena itu lanjut dia, masyarakat Baduy hingga kini lebih memprioritaskan pupuk organik dari sampah ataupun kompos.
Umumnya petani Baduy bertanam itu diladang  perbukitan secara nomaden (berpindah tempat) sampai kembali ke kebun asal hingga kondisi tanah subur lagi.  Kearifan lokal ini terjaga secara turun temurun.
“Disini sampai saat ini belum pernah kelaparan karena hasil bumi selalu mencukupi, seperti panen padi huma hanya untuk keperluan keluarga saja.” ujar Ki Sanati yang menjadi tempat tinggal sementara waktu peliputan.
Ia mengatakan bahwa orang-orang Baduy memercayakan ekonomi dari hasil bumi dengan bercocok tanam di lahan darat.
Mereka mengembangkan lahan pertanian perbukitan karena cocok ditanam padi huma dengan masa panen mencapai umur 6 bulan.
Padi Huma ditanam dilereng bukit (Foto: Urip SR)
Masyarakat Baduy tetap mempertahankan produksi pangan dari nenek moyangnya, termasuk larangan memiliki media elektronika juga jaringan aliran penerangan listrik.
Saridi maupun Narisa, mengatakan bahwa dirinya tiap hari ke kebun untuk menyadap nira (bahan gula aren) dan memetik pisang dikebun untuk dijual.  Ia saat ini sibuk dikebun untuk masa tanam padi huma.  Untuk jangka pendek ia memanen daun serai maupun pisang untuk dijual ke penampung dipasar Rangkasbitung.
“Kami sangat terbantu ekonomi dari hasil pertanian itu,” Jelasnya.
Kearifan lokal yang mampu menopang ketahanan pangan di masyarakat baduy, ia mampu memberdayakan komunitasnya tanpa harus berteriak-teriak minta bantuan.  Masyarakat yang mandiri yang mampu membaca isyarat alam dan selalu bersyukur atas hasil bumi yang melimpah sehingga masyarakat baduy memperlakukan alam dengan sangat hati-hati.  Karena dengan merawat alam maka akan terhindar dari Mala.
Peliput : Urip SR (BBPOPT) dan Hendi (POPT Leuwidamar)***
.