"Jangan mudah terprovokasi, kita ini saudara serumpun, kita ini sama-sama muslim, selesaikan konflik dengan dialog “ demikian pesan orang bijak menasihati. Saya sangat setuju dengan pendapat itu karena itu lebih rasional dan terpelajar. Apalagi sama-sama anggota ASEAN yang notabene harus bisa menjadi contoh mampu menciptakan kedamaian di kawasan Asia Tenggara. Lalu kenapa terjadi gejolak gelombang demonstrasi besar-besaran anti Malaysia, bahkan kedutaan besar Malaysia sampai dilempari kotoran dan bendera dibakar.???

Bukan tanpa alasan sebagian besar penduduk Indonesia marah karena ‘sudah sering’ bangsa Indonesia di lecehkan, bukan satu-dua kali tetapi berkali-kali. Masih segar di ingatan kita bagaimana arogansi Malaysia dipertontonkan. Kasus Ambalat dimana kapal patroli milik TNI AL ditabrak oleh AL Diraja Malaysia, pencaplokan Pulau Sipadan-Ligitan, Klaim atas beberapa budaya milik kita, pemukulan terhadap wasit nasiona Karate-do Indonesia (Donald Luther), tindakan semena-mena terhadap TKI/TKW, melanggar batas wilayah (yang ini paling sering) bahkan dianggap sepele karena sering dilanggar, dan yang terakhir penangkapan sewenang-wenang terhadap petugas patroli KKP di perairan P. Bintan (yang kemudian dilepas setelah di “barter” dengan “maling ikan” asal Malaysia). Tetapi kemudian statement tersebut dengan “santun” disanggah oleh Menlu Marty Natalegawa. Hebat bukan.!??

Sementara se-antero Nusantara berbagai element bangsa yang jiwa patriotik dan harga dirinya terusik melancarkan aksi unjuk rasa anti Malaysia sebagai ungkapan rasa kecewa karena martabat bangsa dilecehkan. Rupanya kalangan parlemen pun bersuara keras ikut mengecam tindakan Malaysia yang arogan. Ibarat pepatah “Anjing menggonggong kafilah berlalu” maka pihak pemerintah RI pun demikian hanya mengajukan “nota protes” dan pendekatan “soft diplomasi”.

Indonesia menuntut Malaysia untuk meminta maaf atas insiden penangkapan 3 pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan (13/08/2010). Dengan entengnya pihak Malaysia menanggapi bahwa “tidak akan minta maaf” bahkan Menlu Malaysia sempat mengancam akan mengeluarkan imbauan kepada warga Malaysia untuk tak bepergian ke Indonesia (Travel Advisory) terkait dengan aksi protes ekstrim. Seperti sudah menjadi kebiasaan apabila terjadi gesekan antara kedua negara, Malaysia pun memulangkan paksa para TKI.

Duh, betapa menyakitkan….!!!

Kata seorang teman dalam sebuah SMS lewat facebook “Kita diposisi dilematis sekarang ini......jika hanya mengingat hargadiri dan nasionalisme maka sekarang juga ingin perang dgn Malaysia sialan itu......INI DADAKU MANA DADAMU!!! Tapi ketika menoleh melihat saudara-saudaraku yg mengais ringgit disana .....jiwa ini kembali tertunduk sesak rasanya dada ini melihat nasib mereka......kita harus betul-betul cepat,tepat,cerdas dan ikhlas dlm mengambil keputusan sengketa dgn Malaysia ini.

Kita memang mengutuk peperangan karena hanya akan mendatangkan kerugian bagi kedua negara apalagi antara kedua negara tersebut memiliki latar belakang sejarah, budaya, sosial dan agama yang secara umum adalah sama.

Lantas timbul pertanyaan besar, “sampai kapan kita menjadi bangsa pema’af?”

Kata seorang pakar, pemerintah Indonesia masih melakukan diplomasi setengah hati dalam penyelesaian konflik dengan Malaysia. Pemerintah terkesan ragu dalam mengambil langkah diplomasi yang lebih tegas.Tindakan tegas tidak harus perang, panggil duta besar atau putus hubungan diplomatik merupakan bukti “ketegasan” yang ditunggu 235 juta rakyat Indonesia. Kalau mengedepankan soft diplomasi terus dan selalu mengalah maka konflik akan selalu kembali terulang. Capai deh…!!!

Maka jangan salahkan rakyat Indonesia apabila mengambil caranya sendiri dalam melihat konflik tersebut. Generasi muda Indonesia mari bangkit membela kedaulatan dan harga diri bangsa.

Bangkit itu…marah…

Marah bila martabat bangsa dilecehkan

Bangkit itu… aku

Aku..untuk Indonesiaku.

(cuplikan puisi dari Deddy Mizwar)

Semoga Gusti Allah memberikan petunjuk.....amin…!!!

(USR)***

Mengenal Tanaman Jamblang
01.34 | Author: Urip SR
Tanaman ini dapat mengobati penyakit mencret dan diabetes/kencing manis karena tanaman ini memiliki sifat rasa manis, netral, dan astrigent menurut farmakologi cina dan pengobatan tradisional.

Tanaman Jamblang alias Duwet (Eugenia cumini atau Syzigium cumini) termasuk buah-buahan yang langka. Tanaman ini termasuk ke dalam famili tumbuhan Euphorbiceae.
Di Indonesia tumbuhan ini bisa hidup dengan subur. Banyak orang suka dengan daging buahnya yang putih kemerah-merahan serta kulit buah licin berwarna merah dan ungu kehitaman.
Buahnya berbentuk lonjong, demikian pula bijinya. Tanaman ini bisa diperbanyak dengan menggunakan biji. Tumbuhan berkayu ini bisa tumbuh tinggi hingga belasan meter. Pemeliharaan pun cukup mudah, hanya butuh air dengan cara penyiraman untuk menjaga kelembaban serta pupuk dasar seperti kompos dan pupuk organik. Letak tanaman biasanya di tempat terbuka yang cukup matahari dan sedikit terlindung. Bahkan di kampung-kampung tanaman ini sering tumbuh liar tanpa perawatan maklum saja nilai jual buah ini sangat murah, sehingga jarang dibudidayakan secara komersial
Jamblang ternyata memiliki kandungan kimia yang cukup kaya. Pada buahnya terkandung zat penyamak tanin, minyak terbang, damar, asam gallus, dan glicosida.
Pada bijinya terdapat zat tanin, asam galat, glucosida, phytomelin, dan alfa-phytosterol yang bersifat anticholestemik. Sementara itu, pada kulit pohonnya terdapat zat samak.
Dalam farmakologi Cina dan pengobatan tradisional lain disebutkan bahwa tanaman ini memiliki sifat rasa manis, netral, dan astrigent. Jamblang juga bersifat antichlestemik, antimaline, dan anti-diabeticum. Efek farmakologi ini diperoleh dari penggunaan bunga, biji, dan kulit. Beberapa penyakit yang dapat diatasi dengan penggunaan jamblang adalah mencret karena masuk angin serta diabetes.
Pengobatan untuk mencret akibat masuk angin dan udara dingin dilakukan dengan menggunakan kulit dahan jamblang. Kulit itu direbus, airnya disaring dan diminum.
Untuk mengatasi diabetes atau kencing manis, 15 butir biji jamblang ditumbuk halus dan direbus. Rebusan itu dibagi menjadi tiga bagian untuk satu hari. Ulangi setiap hari sampai badan terasa segar. Disamping itu, kulit pohon jamblang bisa digunakan pula untuk diabetes. Sebanyak 250 gram kulit jamblang basah dipotomg-potong, lalu direbus dengan 3 gelas air hingga jadi dua gelas. Saring airnya lalu diminum sedikit-sedikit sampai habis dalam satu hari.
Di samping kedua penyakit tersebut, jamblang bisa pula mengobati ngompol.
Biji jamblang yang digunakan untuk pengobatannya. Sebanyak tujuh butir biji jamblang digiling halus. Bubuk biji itu direbus dengan dua cangkir ditambah gula merah hingga air tinggal separuhnya. Minum setiap hari satu cangkir sekitar pukul lima sore sampai sembuh.
(Dari berbagai sumber)***
.
Membangun Sebuah Komunitas Blogger
01.31 | Author: Urip SR
Berikut dibawah ini adalah tulisan ndoro kakung yang dengan sengaja saya share untuk bacaan wajib para blogger khususnya blogger Cikampek yang berkeinginan membangun suatu komunitas, maklum sampai saat ini belum ada wadah/komunitas yang mempersatukan mereka, sementara ini untuk kegiatan kumpul-kumpul nginduk pada komunitas blogger Karawang. Bukan maksud ingin menyaingi atau memisahkan diri dari induknya tetapi minimal punya wadah untuk kongkow atau pertemuan rutinan disamping wajib hadir di Komunitas Blogger Karawang seperti daerah-daerah lainnya. Semoga niat baik untuk mempersatukan para blogger Cikampek ini bisa terlaksana dengan baik. Saya berharap tulisan hasil copas dari Ndoro Kakung bisa dijadikan referensi.

Menurut ndorokakung (http://ndorokakung.dagdigdug.com/2009/03/11/membangun-komunitas-blogger/), membangun sebuah komunitas itu dimulai dari mengajak blogger lain membentuk forum atau kelompok. Cari blogger yang memiliki kesamaan, misalnya keinginan, cita-cita, minat, atau hobi. Setelah itu, buatlah aktivitas bersama secara rutin. Contohnya berenang, bersepeda, arisan, belanja, atau menyulam. Buatlah aktivitas itu bisa berjalan secara paralel, baik secara offline maupun online. Komunitas, misalnya, dapat membuat acara bersepeda bersama di akhir pekan, lalu menuliskan dan mengunggah foto-foto kegiatan itu ke blog komunitas. Blog komunitas adalah forum komunikasi antar anggota komunitas. Blog ini berisi tulisan-tulisan tentang, misalnya, profil anggota, kegiatan yang pernah dilakukan, serta foto-foto kegiatan. Blog itu juga menampung alamat blog anggota. Ia menjadi agregator, pengumpul posting setiap anggota, sekaligus papan pengumuman bagi orang di luar komunitas tersebut. Mereka yang tertarik bergabung dapat mengintip apa, siapa, dan bagaimana kegiatan sebuah komunitas melalui blog ini. Komunitas tak dibangun dalam semalam. Untuk memulainya, sampean cukup mengumpulkan tiga, empat, atau lima orang. Bertemulah secara rutin di tempat yang disepakati bersama sebagai markas. Bisa di rumah salah seorang anggota, kafe, taman kota, atau tempat yang nyaman lainnya. Yang perlu diperhatikan carilah lokasi yang relatif dekat, gampang aksesnya, dan cukup lebar untuk menampung seluruh anggota. Markas ini penting karena akan menjadi tempat berkumpul dan memulai aktivitas bersama.

Sampean tak perlu fokus dulu pada bagaimana merekrut anggota baru atau berharap dalam waktu singkat menambah anggota. Komunitas yang anggotanya terlalu cepat bertambah, biasanya justru rapuh dan kemungkinan besar bubar dalam waktu singkat. Relasi antaranggota yang kuat tentu membutuhkan waktu. Lagi pula, banyaknya anggota tak menjamin keberhasilan sebuah komunitas. Meski anggotanya tak lebih dari sepuluh orang, sebuah komunitas bisa saja sangat aktif bila kegiatannya banyak, semua anggota terlibat, dan membuat semua orang ketagihan ingin mengulangi lagi. Lebih baik sampean memikirkan bentuk kegiatan yang dapat diikuti oleh semua anggota. Makin banyak anggota yang terlibat, makin baik. Mulai saja dari yang sederhana. Kalau anggota komunitas rata-rata suka nonton film, buatlah acara nonton bareng. Jika anggota komunitas hobi makan, ajaklah mereka ramai-ramai mencicipi sebuah kafe atau restoran baru. Sampean bahkan dapat mengajak anggota bereksplorasi, misalnya mencoba hobi baru menyulam. Jangan lupa, membangun komunitas itu berarti membuat setiap anggota merasa spesial. Perlakukan setiap anggota sebagai individu yang nyata dan bukan sekadar nama pena (nickname). Buatlah agar masing-masing anggota merasa dihargai. Libatkan mereka dalam setiap kegiatan. Beri penghargaan untuk setiap partisipasi. Selebihnya, biarkan waktu yang akan mengujinya. Sumber: http://ndorokakung.dagdigdug.com/2009/03/11/membangun-komunitas-blogger/

.

Mancing di Situ Kamojing
05.25 | Author: Urip SR
Situ Kamojing/Cikampek (27/08/2010)
Selama bulan Ramadhan aku punya hobi baru yaitu memancing padahal sebelumnya aku paling tidak suka mancing, kali ini memenuhi ajakan seorang kawan sembari "ngabuburit" katanya.
Okeylah kalau begitu, tidak ada salahnya kalau dicoba. Tulisan ini rasanya remeh temeh banget, tapi tak apalah, aku hanya ingin menuangkan pengalamanku selama memancing di Situ Kamojing, bagiku dapat ikan syukur kalau tidak dapat ya tidak apa-apa, namanya saja "Ngabuburit" menunggu saat-saat berbuka puasa.
Saat paling menyenangkan dari kegiatan memancing adalah ketika menarik ikan yang sudah tersangkut di mata kail, semakin kuat tarikan ikan semakin mengasyikan. Alasan inilah yang sering membuat orang ketagihan. Selain sebagai hobi, kegiatan memancing juga sebagai penghilang stress dan melatih kesabaran, begitu pendapat sebagian besar para pemancing. Berikut ikan yang aku dapatkan selama memancing di Situ Kamojing, tidak banyak sih, cuma jenisnya cukup beragam maklum ikan disini berkembang biak tanpa ada yang membudidayakan, jadi sangat tergantung pada kemurahan alam.

Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Adalah ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting merupakan ikan konsumsi. Saat ini, banyak sekali jenis ikan mas yang beredar di kalangan petani, baik jenis yang berkualitas tidak terlalu tinggi hingga jenis unggul. Setiap daerah memiliki jenis ikan mas favorit, misalnya di Jawa Barat, ikan mas yang paling digemari adalah jenis ikan mas majalaya. Di daerah lain, jenis ini belum tentu disukai, begitu juga sebaliknya. Perbedaan tersebut biasanya dipengaruhi oleh selera masyarakat dan kebiasaan para petani yang membudidayakannya secara turun-temurun. Keberadaan ikan mas di Situ Kamojing adalah limpahan dari kolam milik penduduk setempat apabila terjadi banjir, sebagian ikan kabur dari empang warga dan masuk ke Situ Kamojing pada saat musim penghujan.
Ikan mas menyukai tempat hidup (habitat) di perairan tawar yang airnya tidak terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu deras, seperti di pinggiran sungai atau Situ/danau. Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150--600 meter (dpl) dan pada suhu 25-30° C. Meskipun tergolong ikan air tawar, ikan mas kadang-kadang ditemukan di perairan payau atau muara sungai yang bersalinitas (kadar garam) 25-30%o.
Ikan mas tergolong jenis omnivora, yakni ikan yang dapat memangsa berbagai jenis makanan, baik yang berasal dari tumbuhan maupun binatang renik. Namun, makanan utamanya adalah tumbuhan dan binatang yang terdapat di dasar dan tepi perairan.

Ikan Wader/Beunteur (Puntius binotatus)

Adalah jenis ikan air tawar yang umum ditemui diperairan wilayah tropis khususnya di Asia tenggara. Di Indonesia Wader merupakan nama lokal di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah menjadi nama nasional dengan merujuk kepada beberapa spesies. Sementara di daerah Pasundan (Jawa Barat) ikan jenis ini dinamakan beunteur.
Hingga kini wader belum banyak dibudidayakan layaknya ikan mas sehingga perlu penanganan serius agar tidak punah. Ikan ini berukuran mencapai 115 cm dengan diameter 30 cm.

Ikan Gabus (Channa striata)

Salah satu ikan yang terdapat di Situ Kamojing adalah ikan gabus. Ikan ini mempunyai ciri-ciri berwarna coklat kehitaman, bentuk kepalanya menyerupai kepala ular sehingga dalam bahasa Inggris, Gabus disebut snakehead murrel. Ikan gabus mempunyai beberapa nama daerah antara lain ikan kutuk (Jawa), ruan/haruan (Kalimantan) dan deleg (Palembang).





Ikan Nila (
Oreochromis niloticus)

Adalah sejenis ikan konsumsi air tawar. Tubuh berwarna kehitaman atau keabuan, dengan beberapa pita gelap melintang (belang) yang makin mengabur pada ikan dewasa. Ekor bergaris-garis tegak, 7-12 buah. Tenggorokan, sirip dada, sirip perut, sirip ekor dan ujung sirip punggung dengan warna merah atau kemerahan (atau kekuningan) ketika musim berbiak.
Karena mudahnya dipelihara dan dibiakkan, ikan ini banyak dibudidayakan, termasuk di pelbagai daerah di Indonesia. Akan tetapi mengingat rasa dagingnya yang tidak istimewa, ikan nila juga tidak pernah mencapai harga yang tinggi seperti ikan mas. Ikan nila tergolong jenis omnivora seperti ikan mas. pemakan plankton, sampai pemakan aneka tumbuhan sehingga ikan ini diperkirakan dapat dimanfaatkan sebagai pengendali gulma air seperti eceng gondok.

Nah, cuma dapat empat jenis tentunya masih banyak lagi, berhubung waktunya sudah mendekati saat-saat berbuka maka kegiatan mancing sore hari itu disudahi sampai disini. Lain waktu disambung lagi dan tentunya apabila mendapat spesies ikan yang baru akan ditulis lagi untuk menambah perbendaharaan koleksi jenis - jenis ikan di Situ Kamojing.
Wah, pengalaman yang paling menyenangkan manakala ikan yang sudah tersangkut di mata kail, semakin kuat tarikan ikan semakin mengasyikan. (USR)***
.
BANGKIT
10.08 | Author: Urip SR
Iklan bertajuk nasionalis ini pernah muncul di layar televisi dalam rangka menyambut hari Kebangkitan Nasional (2008). Puisi yang dibawakan oleh om Dedy Mizwar ini begitu menyentuh kalbu dengan tautan kata yang memikat. Puisi yang sederhana namun bisa memberi spirit kepada kita untuk bangkit.
Puisi ini juga mengartikan "arti bangkit" dari segala sudut pandang sehingga menjadikan makna, puisi ini sangat elegan. Saya tergugah untuk mendokumentasikan puisi tersebut karena begitu menyentuh dan sangat pas dengan moment Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-65 kali ini sebagai pendorong semangat di kala bangsa ini sedang mengalami krisis multi dimensi.
Selamat menyimat puisi dibawah ini:

Bangkit.....

Bangkit itu...susah
susah melihat orang lain susah
senang melihat orang lain senang.

Bangkit itu...takut
takut KORUPSI
takut makan yang bukan hak-nya

Bangkit itu... mencuri
mencuri perhatian dunia dengan prestasi.

Bangkit itu...marah
marah bila martabat bangsa dilecehkan

Bangkit itu..malu
malu jadi benalu
malu karena minta melulu.

Bangkit itu...tidak ada
tidak ada kata menyerah
tidak ada kata putus asa

Bangkit itu...aku
aku ... untuk Indonesiaku.

(Puisi dipopulerkan oleh Dedy Mizwar)

Mumpung masih di bulan Agustus Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia ke-65
setiap waktu kita harus bangkit....
.
Pengantar:
"Optimalisasi Kearifan Lokal dalam Diversifikasi Pangan"
Sebuah advertorial dari Kementerian Pertanian yang dimuat di harian Kompas (24/8/2010) sangat menarik untuk direnungkan, barangkali ajakan dari Kementerian Pertanian dalam diversifikasi pangan perlu digalakkan dan disosialisasikan lebih gencar lagi agar keaneka-ragaman pangan di Indonesia lebih optimal dimanfaatkan oleh banyak penduduk. Kapan kita bisa mengekspor beras ke manca negara kalau kita sendiri termasuk pengomsumsi beras terbesar di dunia.
Mari beralih pangan alternatif non beras. Mau…???

Masih ingat musibah haji tahun 2006? Kala itu, ribuan jamaah haji asal Indonesia dilaporkan mengalami kelaparan. Peristiwa yang menghebohkan itu terjadi bukan karena tidak ada makanan. Sejatinya, roti dan makanan ringan lain waktu itu cukup tersedia. Jamaah haji kelaparan karena nasi (catering) datang terlambat.
“Yang terjadi sebenarnya lapar psikologis,” ungkap Menteri pertanian Suswono. Sudah makan roti tapi masih terasa lapar karena belum bertemu nasi. Bagi kebanyakan warga Indonesia, makan identik dengan nasi. Yang namanya makan ya makan nasi, bukan lainnya. Meski sudah makan roti beberapa potong, masih saja terasa lapar karena belum makan nasi.
Ke depan, jelas Mentan, persepsi makan = nasi itu perlu diluruskan. Makan tak harus nasi. Di luar nasi, masih banyak sumber pangan lain. Pola makan yang mesti nasi telah menempatkan Indonesia sebagai pemakan beras terbanyak di dunia. Menurut statistik, konsumsi beras per kapita rakyat Indonesia mencapai 139,5 kg per tahun. Ini angka konsumsi tertinggi di Asia. Bahkan mungkin dunia. Bandingkan dengan warga ASEAN lain yang tingkat konsumsinya masih dibawah 90 kg per tahun.
Pola makan yang amat tergantung pada beras tidak baik untuk masa depan. Selain tidak baik untuk kesehatan, beras minded bisa berpotensi membuat ketahanan pangan kita rentan. Bayangkan, jika suatu ketika, produksi padi nasional Indonesia – karena bencana, anomali iklim atau sebab lainnya – tak sanggup memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Maka, meningkatkan diversifikasi pangan menjadi keharusan. Pangan yang beragam lebih menjamin ketahanan pangan.
Selain beras, Indonesia, sesungguhnya, punya banyak sumber karbohidrat. Mulai dari jagung, sagu, singkong, ubi, talas, gembili, kentang, kana, serta umbi-umbian lainnya. Tanaman pangan itu tumbuh subur di Indonesia. Potensi produksi dan produktivitasnya yang terbuka lebar untuk ditingkatkan. Aneka sumber pangan itu, selama ini, belum banyak disentuh. Padahal, semuanya bisa dan layak jadi sumber pangan alternatif.
Soal rasa dan selera? Mestinya, tidak menjadi masalah. Macam-macam sumber karbohidrat itu bisa diolah demikian rupa menjadi pangan yang mengundang selera. Selain punya cita rasa enak dan lebih variatif, diversitas pangan juga bisa lebih menyehatkan. Aneka pangan alternatif itu juga memiliki nutrisi (nilai gizi) yang tak kalah baiknya. Maka, mulai sekarang, saatnya kita melakukan diversifikasi pangan dengan mengkonsumsi aneka sumber makanan non beras yang ada di sekitar kita.
Bangsa Indonesia yang plural, tambah Mentan Suswono, punya banyak kearifan lokal. Hampir setiap suku punya keunikan yang khas dalam pola dan menu makannya. Realitas ini amat bagus dikembangkan untuk memperkaya diversitas pangan, sekaligus menambah variasi pola makan nusantara kita.
Dengan diversifikasi, sumber pangan kita tambah berlimpah, asupan gizi menjadi lebih lengkap dan menyehatkan. Pada saat yang sama, industri jasa boga dengan nuansa kearifan lokal bisa berkembang dan pastinya membuat ketahan pangan kita semakin kokoh dan mantap.
(Sumber: Advertorial Kompas, 24 Agustus 2010)
.
Angin berhembus lembut diantara rintik gerimis yang mengawali perjalananku ke jembatan Barelang, kali ini rombongan team dari BPTPH Jawa Tengah memanfaatkan waktu jeda untuk bertamasya ke Pulau-pulau kecil sekitar Kota Batam.
Tawaran untuk bergabung segera bersambut “pucuk dicinta ulam tiba” memang ajakan inilah yang saya tunggu (maklum gratis..he2…)
Rugi besar kalau seminggu di Kota Batam tidak dimanfaatkan untuk “jalan-jalan”, perjalanan tidak biasa ini memang dalam rangka mengikuti Pameran Pekan Flori dan Flora Nasional (PF2N) yang digelar dari tanggal 15 s/d 22 Juli 2010 di area Batam Center (depan gedung DPRD Batam/Asrama Haji).
Ini gara-gara termakan hasutan dari teman-teman daerah lain yang dengan bangganya menceritakan pengalamannya di Pulau batam.
Bahkan ada idiom yang berlaku, kalau pergi ke kota Batam belum lengkap kalau belum ke jembatan Barelang. Nah, lhoh semakin penasaran lagi…!!!
Okeylah kalau begitu..mumpung ada yang ngajak – gratis lagi – siapa takut.
Angin berhembus lembut namun rintik gerimis semakin deras, wah hujan, bisa gawat nih acara…!
Sepanjang perjalanan kami hanya menikmati pemandangan dari dalam mobil maklum hujan semakin deras membasahi kota seribu pulau ini.
Di ujung aspal kami berputar karena sudah tidak ada jalan lagi selain hamparan laut luas. Kami berdoa semoga perjalanan pulang kali ini hujan reda.
Rupanya doa kami terkabul perjalanan pulang hujan pun reda sehingga rombongan team BPTPH berhamburan keluar mengabadikan moment yang menarik untuk berfoto ria.

Apa sih istimewanya jembatan Barelang?

Jembatan Barelang merupakan penghubung 3 pulau yaitu Batam, Rempang dan Galang, keberadaannya diprakarsai oleh Habibie dalam rangka mengembangkan wilayah industri di Kepulauan Riau. Jembatan yang selesai dibangun pada 1992 memiliki panjang 2 km yang terdiri dari 6 jembatan.
Rangkaian jembatan yang letaknya kurang lebih 20 km dari pusat kota ini, masing-masing jembatan dinamai sesuai dengan nama-nama raja yang dahulunya berkuasa di kerajaan Melayu.
Rangkaian keenam jembatan tersebut yaitu, jembatan Tengku Fisabilillah : menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Tonton, lalu disambung jembatan Narasinga menghubungkan Pulau Tonton dengan Pulau Nipah, kemudian jembatan Ali Haji yang menghubungkan Pulau Nipah dengan Pulau Setokok, dilanjutkan jembatan Sultan Zainal Abidin menghubungkan Pulau Setokok dengan Pulau rempang, lalu jembantan Tuanku Tambusai menghubungkan Pulau Rempang dengan Pulau Galang, dan yang terakhir jembantan Raja Kecil menghubungkan Pulau Galang dengan Pulau Galang Baru.
Jembatan yang sering juga disebut jembatan Habibie oleh masyarakat sekitar, pada setiap hari libur sering dikunjungi oleh warga baik yang tinggal sekitar Batam atau oleh pengunjung Kota Batam. Menikmati matahari yang perlahan tenggelam, menyaksikan para nelayan lokal yang tengah mencari ikan dengan perahu sederhananya atau sekedar menikmati ombak laut yang sesekali membuncah memecah keheningan sekitarnya. Keindahan pemandangan sekitar pulau-pulau yang dapat dinikmati dari atas jembatan memberi suasana dan eksotisme tersendiri.Sekitar jembatan juga banyak penjaja makanan ringan hasil tangkapan sungai sekitar jembatan (udang dan kepiting goreng).
Pemandangan lain yang tak kalah menarik adalah perkebunan buah naga yang cukup luas dan merupakan agrowisata di pulau ini, diantara lereng-lereng bukit berjejer tanaman buah naga, jalan yang lengang maklum tidak ada angkutan umum yang memasuki wilayah ini, transportasi yang digunakan hanya mobil bak milik proyek apabila mau bepergian ke kota. Barangkali karena populasi penduduk yang sangat jarang sehingga tidak ada trayek ke pulau-pulau kecil ini. Barangkali inilah sebuah eksotisme daya tarik dari kota seribu pulau yang sedang bergeliat menuju eksplorasi besar-besaran untuk menggaet wisatawan.
Angin berhembus semilir mengusir kegerahan siang yang cukup panas, nasi soto dan teh obeng mengakhiri perjalanan ujung aspal pulau Batam.(USR)***

Ucapan terima kasih
Kepada Teman-teman BPTPH Provinsi Jawa Tengah
( Pak Suryo Banendro dan Ibu, Pak Marwoto, Pak Gunawan, Mbak Daniar, Mbak Misgiyati, Mbak Triherni, Mas Didi, Mas Adri, Mas Bakri)
.
Dalam Rangka Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia ke-65
Catatan kaki ini akan mengulas jejak-jejak sejarah semasa kolonialisme Belanda bercokol di Indonesia.

Selama 350 tahun menjajah Bumi Pertiwi, banyak jejak yang ditinggalkan Belanda, hampir semua bangunan stasiun KA merupakan jejak sejarah kolonial Belanda. Salah satu bangunan tersebut adalah stasiun KA Cikampek, bangunan yang memiliki arsitektur khas Eropa saat itu merupakan gaya neo klasik yang berpadu dengan gaya kontemporer atau kerap disebut sebagai gaya art deco. Suatu bentuk dekorasi bangunan yang populer ketika perang dunia I berakhir.
Stasiun KA Cikampek adalah stasiun kereta api yang terletak di Cikampek Karawang, Jawa Barat. Stasiun ini merupakan stasiun paling timur dari Daerah Operasi 1 Jakarta.
Stasiun Cikampek menjadi salah satu stasiun terpenting bagi perjalanan KA dari Jakarta ke berbagai kota di Pulau Jawa. Di sebelah timur stasiun, jalur bercabang dua; jalur sebelah utara menuju kota Cirebon sedang jalur sebelah selatan menuju kota Bandung . Dahulu, sebelum beroperasinya jalur ganda petak Cikampek-Cirebon, hampir semua KA yang berangkat dari Jakarta berhenti di stasiun ini. Tujuannya untuk memastikan petak jalur di depannya sudah aman, dan seringkali untuk menunggu persilangan KA dari arah Cirebon, terutama pada pagi dan sore hari.
Walaupun menyandang status sebagai stasiun besar, hanya beberapa KA ekonomi dan bisnis yang berhenti di stasiun ini, termasuk KA komuter tujuan kota Jakarta. Kereta api eksekutif yang berhenti hanya kereta api (KA) Harina tujuan kota Semarang untuk memutar lokomotifnya di stasiun ini. Bangunan stasiun KA ini hasil rancangan dari arsitektur Belanda pada zaman Gubernur Jenderal AFW Idenburg (1909 - 1916).
Tentunya masih banyak lagi peninggalan-peninggalan dari Belanda selain bangunan stasiun KA juga bangunan lainnya seperti Pabrik Gula dan Bendungan (Dam) yang berserakan di Pulau Jawa (akan diulas tersendiri)
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Stasiun_Cikampek
(Foto2 menyusul).
.
Saat berbuka puasa, saatnya mencicipi takjil yang manis-manis salah satu pilihannya adalah kolak kolang-kaling divariasikan dengan labu ciremai. Buah kolang-kaling dengan kuah gula merah (gula aren) dicampur es pasti lebih segar rasanya.
Kolang-kaling adalah produk dari pohon aren (Arenga pinnata), buah yang muda, dipanen sebagai bahan kolang-kaling. Buah yang muda kemudian direbus selanjutnya dikupas maka akan menampakkan inti biji (endosperma).
Tahap selanjutnya adalah memukul pipih inti biji enau, sebelum merendamnya di larutan air kapur selama beberapa hari. Hasil perendaman berupa kolang-kaling, selain memiliki rasa yang menyegarkan, mengkonsumsi kolang kaling juga membantu memperlancar kerja saluran cerna manusia.
Kolang-kaling memiliki kadar air sangat tinggi, hingga mencapai 93,8% dalam setiap 100 gram-nya. Kolang kaling juga mengandung 0,69 gram protein , empat gramkarbohidrat , serta kadar abu sekitar satu gram dan serat kasar 0,95 gram.
Kandungan karbohidrat yang dimiliki kolang kaling bisa memberikan rasa kenyang bagi orang yang mengkonsumsinya, selain itu juga menghentikan nafsu makan dan mengakibatkan konsumsi makanan jadi menurun, sehingga cocok dikonsumsi sebagai makanan diet.
(Sumber: http://id.wikipedia.org)***
(Foto:dapoerngeboel.blogspot.com)
.
Menjadi Kupu-Kupu Yang Indah
16.47 | Author: Urip SR
Kita semua berharap dibulan suci ini kita bisa melatih diri untuk mengendalikan hati agar menjadi bening dan jernih, dan setelahnya ramadhan kita dapat mengambil hikmah yang besar, yaitu menjadi kupu-kupu yang sangat indah.
Di hari pertama bulan puasa ini aktifitas selepas kerja adalah blogging dengan memulai posting seputar puasa, tentu banyak yang perlu ditulis merekam aktifitas warga, bagaimana aktifitas warga mengisi bulan puasa, disiang hari suasana pemakaman begitu ramai banyak yang ziarah kubur, ngabuburit (menunggu waktu buka) dengan mendengarkan kultum, sholat tarawehan (sampai meluber ke halaman masjid), tadarusan, dan lain-lain.
Merekam kembali kenangan masa kecil, puasa yang blang bentong, mengumpulkan aneka kue, mengarak beduq keliling kampung, tidur di surau (langgar, Tajuk, musholla).
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, saat-saat menungggu buka puasa (ngabuburit) hanya di isi jalan2 di persawahan sembari mencari belut.
Di bulan suci ini mari kita melatih diri untuk mengendalikan hati agar menjadi bening dan jernih, dan setelahnya ramadhan kita dapat mengambil hikmah yang besar, yaitu menjadi kupu-kupu yang sangat indah.
.
KEBON KEMBANG
15.43 | Author: Urip SR
Kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) adalah hutan lindung untuk keperluan penelitian milik Kementerian Kehutanan. Kawasan hutan seluas 45 hektar ini dikenal dengan sebutan Kebon Kembang dibangun tahun 1937, hutan lindung yang diperuntukan sebagai kegiatan penelitian kehutanan, dan di KHDTK ini berdiri kegiatan penelitian antara lain Kebon Percobaan penelitian tanaman rempah dan Aneka Tanaman Industri, Badan Litbang Pertanian yang berpusat di Cimanggu Bogor.
Hutan Penelitian Cikampek (Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam).
Jadi di kawasan ini terdapat dua penelitian yakni penelitian milik Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian.
Kawasan yang asri dan sejuk ini berada pada ketinggian 50 meter diatas permukaan laut, merupakan paru-parunya kota Cikampek, sayang kawasan ini kurang tertata dengan rapi sehingga kelihatan kumuh dengan kehadiran warung2 liar dipinggir jalan. Seharusnya pihak pengelola menempatkan mereka menjadi satu sehingga kesan hutan yang alami benar2 terjaga. Memasuki kawasan hutan ini memang sedikit terganggu dengan tumpukan bau sampah baik dari arah Cinangka maupun dari arah Cikampek Timur.
Kawasan Hutan ini pernah dipakai sebagai studio alam TV Indosiar dalam serial film Misteri Gunung Merapi, panorama hutan yang sesungguhnya dengan pohon2 besar berumur ratusan tahun menjadikan lokasi ini cocok sebagai tempat shooting film laga.
Akses jalan menuju Kebon Kembang sudah mulai rusak, beberapa titik dijumpai aspal sudah mulai mengelupas, sebagian pohon juga ada yang meranggas kering, vegetasi yang tumbuh di kawasan ini antara lain Pohon Jati (Tectona grandis), Sonokeling, Mahoni (Swietenia mahagoni), Akasia, Suren dll.
Kerindangan pohon dan udara yang segar cocok sebagai tempat refresing melepas penat menikmati wisata alam yang murah meriah.
Sikon seperti inilah sering dimanfaatkan oleh muda-mudi sebagai tempat untuk memadu kasih.
Selain menawarkan hawa yang sejuk di tempat ini juga sebagai wahana belajar untuk anak2 agar lebih mengenal dan mencintai hutan.
Kita bisa mengajak anak-anak mengenal jenis-jenis tanaman hutan, manfaat dan nama latinnya des menumbuhkan rasa cinta kepada alam semesta.
.
NGABUBURIT DI SITU (DANAU) KAMOJING
15.33 | Author: Urip SR
Sore hari di Situ Kamojing selalu ramai apalagi di bulan Ramadhan tambah ramai. Maklum saja, tradisi "Ngabuburit" yang dilakukan anak-anak muda untuk sekedar menunggu datangnya saat berbuka puasa menjadi acara rutin setiap sore. Melewatkan waktu bersama kawan-kawan dipinggirin situ (danau) Kamojing memang menyenangkan maklum kota Cikampek miskin tempat rekreasi sehingga tumplek blek disini. Macet tentu saja..!!!
Tradisi "Ngabuburit" seperti ini dimanfaatkan oleh sebagian penduduk sekitar untuk berjualan kue-kue takjil (hidangan berbuka). Di pinggiran situ paling ujung anda juga bisa menikmati hidangan sate maranggi (sate khas Jawa Barat). Anda bisa juga menikmati sensasi naik "getek" sejenis perahu dari bambu sambil menjala ikan.
Situ Kamojing adalah danau buatan untuk menampung kelebihan air pada musim hujan, sebagai tandon air di musim kemarau situ ini mampu mengairi sawah ratusan hektar. Sebagai pemasok air irigasi untuk keperluan pertanian situ ini dikelola oleh Perum Jasa Tirta II Seksi Divisi Irigasi Tarum. Saat ini kondisi air mulai menyusut dan dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk mencari ikan dengan cara memancing dan menjala ikan menggunakan rakit. Hingga pada musim kemarau yang panjang dimana air sudah menyusut habis oleh penduduk sekitar lahan danau sering ditanami padi sebagai lahan persawahan dadakan. Tata kelola situ masih apa adanya, belum tertata untuk keperluan rekreasi padahal pengembangan situ ini bisa dijadikan sebagai tempat wisata air dan pemancingan yang profesional.
Lokasi
Dari arah Cikampek berjarak 2,5 km melalui depan BNI (Yogya Departemen Store) menuju arah Desa Cikampek Pusaka dan Desa Kamojing, wilayah ini masuk Kecamatan Cikampek Kota.
Situ Kamojing terhubung dengan Hutan Percobaan "Kebon Kembang" sehingga menjadi satu paket tujuan wisata alam yang murah meriah. Di Situ Kamojing bagi hobiis pemancing bisa menikmati mancing ikan sepuasnya tanpa dipungut biaya selanjutnya di Kebon Kembang bisa menikmati Panorama Hutan yang teduh dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi dan semilirnya angin hutan.
Mau...???
.


Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1431 H
15.29 | Author: Urip SR
"Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan kepada kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu,supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa." (S.al-Baqarah:183)
PUASA menurut syariat ialah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa (seperti makan, minum, hubungan kelamin, dan sebagainya) semenjak terbit fajar sampai terbenamnya matahari,dengan disertai niat ibadah kepada Allah,karena mengharapkan redho-Nya dan menyiapkan diri guna meningkatkan Taqwa kepada-Nya.
Puasa Ramadhan akan membersihkan rohani kita dengan menanamkan perasaan kesabaran, kasih sayang, pemurah, berkata benar, ikhlas, disiplin, terthindar dari sifat tamak dan rakus, percaya pada diri sendiri, dsb.

Dari lubuk hati yang paling dalam
saungURIP mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa ramadan 1431 H.
.
AYO....MEMBUAT PATOGEN SERANGGA...!!!
15.19 | Author: Urip SR
Cendawan Beauveria bassiana ini ditemukan di pertanaman padi dapat menyerang hama-hama diantara lain wereng btang coklat (WBC), wereng daun hijau (WDH), wereng punggung putih (WPP), Penggerek Batang Padi, Penggulung daun, kepinding tanah, walang sangit, dll. Spora cendawan B. bassiana pada serangga inang nampak seperti kapur putih menutupi tubuh inangnya seperti pada tubuh WBC atau kepinding tanah.

Cendawan Metarrhizium anisopliae pada tanaman padi ditemukan dapat menginfeksi WBC, kepinding, dan kumbang. Perkembangan cendawan pada awalnya akan tumbuh berwarna putih pada segmen tubuh inang. Bila spora terbentuk, cendawan akan berubah warna menjadi hijau gelap apabila cendawan yang menyerang M. anisopliae atau berubah menjadi hijau muda bila cendawan yang menyerang M. flavovridae.

Nah, begini cara membuatnya:

Perbanyakan pada Media Padat (Jagung/Beras):

1.Sterilkan kotak pemindah, alat-alat, dan

tangan dengan NaOCL 1 %/alkohol 70%.

2.Masukkan media padat jagung/beras, tabung

isolat B. bassiana atau M. anisopliae, dan alat-alat

dalam kotak pemindahan (in case), kemudian

nyalakan lampu bunsen (bahan bakar spiritus).

3.Ambil tabung, cabut sumbat tabung dengan men-

jepit sumbat dengan jari tengah dan telunjuk

tangan kanan dekatkan ke lampu bunsen;

4.Potong isolat B. bassiana atau M. anisopliae

± 0,5 cm persegi dengan jarum ose yang telah

disterilkan di sekitar lampu bunsen.

5.Panaskan mulut tabung isolat dan tutup dengan

segera di sekitar lampu bunsen;

6.Buka kantong media jagung/beras, masukkan

potongan isolat ke dalam kantong dan bungkus

kantong dengan segera di sekitar lampu bunsen,

kemudian tutup/ikatlah yang rapi dengan karet

atau di staples;

7.Tulis nama petugas, nama cendawan, dan tanggal

perbanyakan pada kantong media, letakkan pada

wadah, dan simpan di tempat yang bersih.

Selamat mencoba...!!!!

.

Penggunaan pestisida kimia sebagai sarana pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) khusus pada tanaman pangan dan hortikultura dirasakan manfaatnya berupa peningkatan produksi. Pestisida dengan cepat dapat menurunkan populasi atau intensitas serangan OPT, sehingga meluasnya serangan dapat dicegah. Namun selain berdampak positif, penggunaan pestisida kimia yang kurang bijaksana dapat menimbulkan dampak negatif berupa resurgensi, resistensi, matinya musuh alami dan pencemaran lingkungan melalui residu yang ditinggalkan serta menyebabkan keracunan pada manusia yang dampaknya untuk jangka panjang lebih merugikan dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Dalam mengantisipasi hal tersebut maka dikembangkan konsep PHT (pengendalian hama terpadu). Dalam PHT penggunaan pestisida tidak dilarang, namun dinyatakan bahwa penggunaan pestisida seharusnya dengan mentaati aturan penggunaannya. Agar dapat menurunkan penggunaan pestisida tersebut perlu dilakukan pengembangan dan pemanfaatan agens hayati sebagai sarana pengendali OPT.
Potensi bahan alami sebagai agens hayati tersedia cukup banyak, disamping juga pengembangannya tidak memerlukan teknologi yang terlalu tinggi. Agens hayati tersebut meliputi cendawan, bakteri, nematoda, virus, protozoa, predator, parasit dan parasitoid. Selain itu beberapa spesies tanaman juga mengandung senyawa yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama dan penyakit yang dikenal sebagai pestisida nabati. Patogen hama dan pestisida nabati biasanya disebut sebagai biopestisida.
Beberapa bioinsektisida telah diproduksi secara massal, namun produksi massal oleh industri besar sangat terbatas. Bacillus thuringiensis merupakan contoh spektakuler keberhasilan industri biopestisida. Contoh yang biasa dikenal petani Indonesia adalah Dipel, Thuricide, Bactospeine. Bioinsektisida dari kelompok patogen lain yang diproduksi, tetapi dalam skala yang lebih kecil bukan perusahaan besar (Beauveria bassiana, Metarrhizium anisopliae, Verticilium lecanii, Steinernema spp., NPV dll).
Biopestisida mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan pestisida kimia sintetik dalam konteks pengendalian hama terpadu dalam sistem pertanian berkelanjutan. Keunggulan utamanya mengurangi pencemaran lingkungan dan keamanan terhadap pengguna dan organisme berguna lainnya.
Pengendalian hayati dapat berhasil dilapangan apablila petani mau dan mampu memahami dengan baik kondisi agroekositemnya melalui pengamatan secara rutin proses yang terjadi. Pelaksanaan secara berkelompok akan lebih efisien dan efektif dibandingkan oleh petani perseorangan.
Nah, selanjutnya secara bertahap akan diulas cara perbanyakan agens hayati dan cara aplikasi dilapangan. Pemakaian agens hayati akan berhasil apabila kelompok tani diajak turut serta membuat dan mensosialisasikan secara estafet kepada kelompok lainnya tentu dengan pendampingan petugas POPT dan PPL.
.
Bagaimana Mengendalikan WBC ???
08.27 | Author: Urip SR
Rencana Tindak Lanjut:
1. Menurunkan populasi WBC pada tingkat tidak membahayakan (dibawah ambang pengendalian).
2. Pembentukan posko-posko pengendalian WBC mulai dari tingkat kecamatan sampai tingkat pusat.
3. Penataan pola tanam (tanam serentak dalam satu hamparan).
4. Koordinasi dan sinkronisasi di setiap lini.
5. Pengawalan ketat khusus bagi pertanaman yang tidak mempunyai gen ketahanan.
6. Penyediaan sarana pengendalian yang tepat.

Dalam Keadaan Darurat

1. Tindakan pengendalian:

a) Persemaian
Dengan pestisida racun kontak, dilanjutkan insektistatik pada populasi migran tinggi.
Seedbed Treatment dengan karbofuran
Apabila populasi dibawah ambang pengendalian selanjutnya gunakan agensia hayati, musuh alami WBC.
b) Pertanaman Vegetatif
Dengan racun kontak dan diikuti dengan insektistatik pada populasi migran tinggi
Pengeringan sawah terserang
Apabila populasi dibawah ambang pengendalian selanjutnya gunakan agensia hayati, musuh alami WBC.
c) Pertanaman generatif
Populasi migrasi dengan racun kontak, diulangi bila populasi diatas ambang pengendalian.

2. Eradikasi Pertanaman :

Ringan – Berat : eradikasi selektif
Puso : eradikasi total – pemusnahan – pembakaran.
Apabila ada gejala serangan virus kerdil rumput/kerdil hampa dieradikasi selektif dan dimusnahkan.

3. Bantuan dan Gerakan Pengendalian

Gerakan pengendalian secara terkoordinasi melalui dinas Pertanian Provinsi/Kabupaten dengan melibatkan seluruh masyarakat dan petugas
Bantuan benih pada areal pertanaman yang puso.
Bantuan pestisida.

4. Sosialisasi dan Penyuluhan pada petani tentang Pengenalan dan Pengendalian WBC melalui:

Peningkatan kelembagaan penyuluhan dan peran PPL.
Peningkatan kelembagaan pengamatan dengan menambah tenaga SDM Pengamat Hama dan kelembagaan tani/kelompok tani/alumni SLPHT.
Peningkatan pengetahuan dan ketrampilannya
Peningkatan kelembagaan penyuluhan dan peran PPL

5. Pertemuan koordinasi dan Konsolidasi pengamanan produksi dengan Kepala Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten.

6. Pelatihan teknik aplikasi pestisida yang memenuhi 6 tepat pada petugas Brigade Proteksi Tanaman, PHP, PPL, Seksi Perlintan Kabupaten dan Petugas Lapang lainnya di lokasi serangan.

UPAYA YANG HARUS DILAKUKAN DALAM PENGELOLAAN WERENG BATANG COKLAT

Jangka pendek:

a) Menanam varietas yang mempunyai gen ketahanan yang berbeda, pengawalan ketat dilakukan apabila varietas yang ditanam tidak punya gen ketahanan (hibrida).
b) Peningkatan pengamatan populasi di lapang sejak awal persemaian.
c) Pemusnahan singgang/sisa tanaman yang terserang dengan eradikasi selektif/total.
d) Diutamakan penggunaan agens hayati, musuh alami dari WBC.
e) Penggunaan insektisida anjuran yang diijinkan dengan memenuhi syarat 6 tepat, dan penggunaannya semaksimal mungkin (spot treatment).

Jangka Menengah:

Penyelenggaraan SLPTT dan SLPHT tindak lanjut bagi petugas maupun petani.
Penanaman varietas yang tahan terhadap biotipe-3/biotipe-4 dengan tetua yang berlaianan, dengan pengawalan yang ketat dan monitoring yang intensif.
Pergiliran varietas dan pergiliran tanam (padi-padi-palawija)
Sistem tanam legowo.
Pemupukan berimbang sesuai dengan kondisi hara tanah setempat.
Menggerakkan alumni SLPHT
Pembentukan Posko Pengendalian yang berkelanjutan.
Mengaktifkan peran PPL.
Koordinasi antar instansi di tingkat desa, kecamatan, kabupaten

Jangka Panjang:

Pembentukan varietas yang memiliki ketahanan vertikal dan horisontal (memiliki gen tahan biotipe-3, biotipe-4).
Peningkatan kemampuan SDM dalam penerapan PHT melalui pola SLPHT, dan SLPHT tindak lanjut, serta penerapan SLPTT.
Penguatan kelembagaan perlindungan tanaman, khususnya Brigade Proteksi Tanaman dan Regu Pengendalian Hama.
Penguatan sistem Perlindungan Tanaman melalui:
Mengaktifkan kelembagaan penyuluhan (PPL sebagai mitra petani)
Koordinasi dengan instansi terkait (pemerintah pusat, daerah), swasta dan stake holder lainnya.


Sumber:
Rencana Tindak Lanjut Dalam Upaya Pengendalian WBC
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010
(Makalah Presentasi pada Workshop Nasional WBC di jakarta).
Tulisan: Dr. Hermanu Triwidodo, MSc, IPB
dan Ir. Nugroho Wienarto, Yayasan Field
(Makalah ini disampaikan pada Workshop Nasional WBC di Jakarta 19 Juni 2010)

Kompas, 8 Mei 2010: Wereng Coklat Meluas, Pemda Harus Aktif
Jakarta, Kompas. Serangan hama wereng batang coklat pada tanaman padi meluas, padahal sudah relatif lama petani bebas dari serangan hama ini.
Oleh karena itu, pemerintah daerah diminta lebih cepat merespons setiap laporan adanya serangan agar tidak meluas.Imbauan tersebut disampaikan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Jumat (7/5). ”Petani juga harus lebih waspada dan mempelajari kembali pola penanggulangan wereng coklat melalui pendekatan pola tanam dan teknis budidaya,” ujar Bayu.
Menurut Bayu, dari aspek luasan, areal tanaman padi yang terserang wereng coklat memang tidak signifikan dibandingkan dengan total luasan areal panen padi.
Pada April-Mei 2010 total luas areal panen padi mencapai 3,3 juta hektar.”Serangan ini tidak berdampak serius pada produksi pangan nasional, tetapi jelas sangat merugikan petani karena petani gagal panen,” kata Wakil Menteri Pertanian.Menurut Bayu, yang harus diwaspadai adalah meluasnya serangan, terutama di wilayah pantai utara Jawa.Wilayah yang tanaman padinya terpapar wereng coklat adalah Subang (Jawa Barat), Jember dan Banyuwangi (Jawa Timur), serta Klaten, Jepara, Pati, dan Pekalongan (Jawa Tengah).
Kementerian Pertanian, kata Bayu, saat ini mengupayakan agar ada mekanisme bantuan khusus bagi petani yang tanaman padinya terserang wereng.Selama ini bantuan bagi petani yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya dalam bentuk pupuk dan benih.Padahal, petani korban hama wereng perlu mendapat ganti rugi supaya kelangsungan hidupnya terjaga pasca-gagal panen. Menurut Bayu, ada empat faktor yang memengaruhi meluasnya wabah wereng coklat. Faktor-faktor tersebut adalah adanya perubahan iklim dan tata air yang membuat situasi pola tanam tidak menentu, pola penanaman padi tidak lagi bisa dilakukan serempak, introduksi benih padi hibrida yang tidak tahan wereng coklat, serta petani lupa cara melakukan antisipasi.
1. Pengantar
Kliping harian Kompas tanggal 8 Mei 2010 membuka tulisan ini, yang membahas tentang pengalaman penanggulangan wereng batang coklat (WBC) secara ekologis, yang dilakukan dalam kurun waktu tahun 1980-1n hingga sekarang. Ini dimulai dengan Instruksi Presiden No.3 tahun 1986 tentang Pengendalian Hama Terpadu sebagai strategi nasional perlindungan tanaman, kemudian berlanjut dengan penyelenggaraan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (1989-1999) yang dimulai di bawah koordinasi BAPPENAS dan mulai tahun 1994 dilaksanakan langsung oleh Departemen Pertanian.
Imbauan dari Wakil Menteri Pertanian ini seakan-akan menunjukkan bahwa Kementerian Pertanian juga mengalami “lupa” tentang sebab-sebab klasik ledakan hama WBC di pertanaman padi dan langkah penanggulangannya.
2. Sejarah Serangan Wereng Batang Coklat
Bila kita mau menengok sejarah maka masalah yang dihadapi Indonesia dengan WBC adalah mirip dengan pengalaman negara-negara lain di Asia. Di Indonesia WBC mulai menjadi perhatian sejak tahun 1970 dan 1971. Survei tentang kerusakan tanaman padi akibat penggerek di beberapa wilayah di Jawa Barat mendapatkan data bahwa para petani menggunakan insektisida, yang berakibat tidak hanya meningkatnya serangan penggerek tetapi juga jumlah populasi WBC sepuluh kali lipat dibandingkan lahan padi yang tidak disemprot pestisida (Soeharjan 1972). Sebelum tahun tujuh puluhan WBC tidak diperhitungkan sebagai hama. Situasi ini segera berubah. Sebagai bagian dari BIMAS Gotong Royong di akhir 1960-an dan awal 1970-an maka ratusan ribu hektar padi sawah disemprot insektisida organofosfat berspektrum luas secara massal dengan menggunakan pesawat udara. Program ini juga menyediakan paket kredit dalam bentuk pupuk kimia dan pestisida. Sejalan dengan pertumbuhan produksi yang meningkat maka meningkat pula serangan WBC. Pada tahun 1975, sejalan dengan kebijakan pemerintah secara langsung menyubsidi insektisida, maka kehilangan hasil akibat dari WBC sama dengan 44% impor beras tahunan (Kenmore 1991). Sejak 1976 Pemerintah memulai penyemprotan dari udara dengan formulasi insektisida dari jenis ultra low volume sehingga bisa menjangkau wilayah yang luas. Hasilnya adalah pada tahun 1976/1977, WBC mengakibatkan serangan berat pada 450.000 hektar padi sawah. Perkiraan kehilangan hasil sekitar 364.500 ton beras, suatu jumlah yang cukup untuk memberi makan 3 juta orang dalam satu tahun. (Oka 1997).
Ini bukan kejadian yang terisolasi. Kebijakan-kebijakan perlindungan tanaman Indonesia yang mempromosikan penggunaan pestisida telah mengakibatkan dua ledakan hama di tahun 1979 dan 1986. Thailand, Vietnam, Kamboja dan Malaysia juga mengalami ledakan hama yang mirip. Para ahli ekologi populasi mampu mendokumentasikan proses ini (Kenmore et al. 1984; Ooi 1988; Settle et al. 1986). WBC ditemukan berada pada tingkat populasi yang tidak berarti di lahan padi sawah intensif yang tidak disemprot insektisida karena dikendalikan oleh populasi musuh alami. Sekalipun ada imigrasi sejumlah besar serangga WBC dewasa yang bereproduksi ke suatu lahan, maka populasi musuh alami mampu merespon dan mengakibatkan tingkat kematian WBC yang tinggi sehingga hasil panen tidak terganggu. Penggunaan insektisida telah ditemukan menjadi penyebab terganggunya mekanisme pengendalian alami. Tingkat hidup WBC didalam suatu sistem yang terganggu insektisida telah ditemukan meningkat lebih dari sepuluh kali lipat. Selama satu musim tanam kepadatan populasi WBC bisa meningkat ratusan kali lipat. Mencoba mengendalikan ledakan hama ini dengan insektisida seperti menuang minyak kedalam api.
Dengan ledakan hama WBC yang masif maka para pemulia tanaman mengembangkan varietas yang tahan kepada WBC. Strateginya adalah mengganti penggunaan insektisida dengan menanam varietas padi yang tahan WBC. Tetapi di lapangan, penggunaan insektisida yang intensif berlangsung terus. Penggunaan insektisida yang intensif mendorong seleksi yang cepat terhadap populasi WBC yang mampu mengatasi ketahanan varietas baru (Gallagher 1984).
Runtuhnya varietas-varietas baru ini secara cepat berarti dana dan waktu yang diinvestasikan dalam pengembangannya telah terbuang sia-sia.
Apa yang terjadi? Ini menunjukkan bahwa kebijakan dan metode perlindungan tanaman yang baku dari pemerintah di tahun 1970-an dan 1980-an secara nyata meningkatkan resiko ledakan hama. Contoh ledakan hama WBC ini adalah ilustrasi, karena secara umum ini juga mengakibatkan ledakan-ledakan hama padi lainnya di daerah tropis. Insektisida melemahkan sebuah sistem sehingga populasi musuh alami menjadi rendah dan tidak mampu memberikan perlindungan terhadap sistem tersebut. Kebijakan pemerintah juga gagal memperhitungkan “buffer” lain agar agroekosistem padi terhindar dari kehilangan hasil. Ini adalah kemampuan tanaman untuk mengkompensasi kehilangan daun dan malai produktif hingga 30-40 hari setelah tanam. Beberapa varietas unggul ini memungkinkan tanaman bertahan dari serangan hama yang diakibatkan oleh penggerek, penggulung daun dan yang lain (Way Heong 1994). Makalah Way Heong pada tahun 1994 berkesimpulan bahwa insektisida tidak diperlukan sehingga insektisida dan “hama” ini perlu secara kritis dikaji ulang dan dibuktikan sebelum penggunaan insektisida dipikirkan.
Apakah kita bisa belajar dari sejarah penanggulangan hama WBC di tanah air kita sendiri? Untuk itu kita perlu meninjau sejarah tentang keluarnya INPRES 3/86 dan terselenggaranya Program Nasional PHT dalam kurun waktu 1989-1999.
3. PHT sebagai Kebijakan Nasional – INPRES 3/86
Setelah bertahun-tahun menjadi negara pengimpor beras terbesar didunia, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Atas prestasi ini, Indonesia mendapat pujian dari seluruh dunia serta penghargaan dari FAO. Perubahan yang menakjubkan ini terjadi karena introduksi pupuk dan varietas unggul yang disebarkan secara luas, pengembangan sistem irigasi, dan adanya kebijakan-kebijakan pendukung yang tepat.
Namun demikian, pencapaian tersebut memiliki kelemahan. Insektisida berspektrum luas selalu diikutsertakan bersama dengan masukan lainnya. Insektisida tersebut telah memicu ledakan populasi hama wereng coklat secara luas, sehingga varietas-varietas padi berproduksi tinggi yang dikembangkan oleh Indonesia, seperti Krueng Aceh dan Cisadane menjadi “patah” ketahanannya. Pada akhir 1985, hampir 70% produksi padi di Pulau Jawa terancam oleh hama tersebut.
Untunglah, penelitian yang dilakukan oleh badan penelitian nasional dan internasional selama tahun 1979 hingga 1986 secara meyakinkan membuktikan bahwa: 1) wereng batang coklat merupakan hama yang ledakan populasinya disebabkan oleh penggunaan pestisida secara berlebihan, dan 2) populasi hama tersebut dapat dikendalikan oleh agens pengendali hayati berupa predator/pemangsa yang secara alami ada di lahan sawah.
Pada 5 Nopember 1986 Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 1986 yang menyatakan bahwa Pengendalian Hama Terpadu menjadi strategi nasional pengendalian hama. Inpres 3/86 juga melarang 57 jenis insektisida, sebagian besar adalah jenis organofosfat yang sangat beracun, untuk digunakan di tanaman padi, dan memerintahkan diselenggarakannya program pelatihan PHT skala besar kepada petugas lapangan dan petani.
Kebijakan PHT ini diperkuat dengan penghapusan subsidi pestisida dua tahun berikutnya sehingga Pemerintah bisa menghemat $ 120 juta per tahun. Selama 10 tahun sebelumnya Pemerintah telah mengeluarkan dana subsidi pestisida sebesar $1,5 milyar.
4. Program Nasional PHT 1989-1999
Sebagai kelanjutan dari terobosan ilmiah dan kebijakan yang dilakukan pada akhir tahun 1980-1n tersebut, Pemerintah Indonesia meluncurkan program PHT dengan skala paling besar dari yang pernah dilaksanakan. Sejaka tahun 1990, Program Nasional PHT telah mencetak lebih dari 500.000 petani Indonesia menjadi alumni dari Sekolah Lapangan PHT (SLPHT) yang dilakukan selama satu musim penuh di 12 propinsi lumbung beras. Pada tahun 1997/1998, hampir 200.000 petani terlibat dalam SLPHT per tahun. Hingga 1998, hampir setiap desa di daerah lumbung beras di Indonesia memiliki setidaknya satu SLPHT yang diselenggarakan di lahan di desa tersebut.
Dalam rangka mencapai jumlah tersebut, lebih dari 2.000 Pengamat Hama dan Penyakit (PHP) menjalani pelatihan Ahli Lapangan PHT secara intensif selama 14 bulan. Lebih jauh, untuk mendukung pelaksanaan di lapangan, lebih dari 5.000 Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) tanaman pangan juga menjalani latihan PHT di lahan. Pada kurun waktu 1989-1993, Program Nasional PHT dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang melibatkan Departemen Pertanian, Kesehatan, Lingkungan Hidup, serta Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak 1994, program ini dikoordinir oleh Departemen Pertanian. Selama kedua periode ini, Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memberikan bantuan teknis. Dana untuk program ini, disamping berasal dari Pemerintah Indonesia, juga bersumber dari hibah USAID dan pinjaman Bank Dunia.
Program PHT yang berintikan usaha pengembangan sumberdaya manusia menghasilkan perubahan besar dalam perilaku dan praktek budidaya di lahan, yang memungkinkan petani untuk terbebas dari kebiasaan-kebiasaan sebelumnya dan dari ancaman kampanye perusahaan pestisida. Lebih dari 40 tahun yang lalu, diawal Revolusi Hijau, pestisida dikenalkan secara luas melalui metoda “pesan dan sanksi” yang membujuk petani untuk menggunakan pestisida bersubsidi dengan sistem kalender. Sistem kalender kemudian digantikan dengan sistem ambang ekonomi yang memerlukan pengamatan yang cermat, peramalan, dan teknik “hitung dan semprot”. PHT di Indonesia telah meninggalkan konsep tersebut dengan cara mempertajam ketrampilan petugas lapangan dan petani dalam metoda-metoda ekologis, yaitu pengambilan keputusan dan pengelolaan lahan yang didasarkan pada analisa agroekosistem dan pengamatan di lahan.
5. Manfaat dan Hasil PHT
Manfaat yang diperoleh dari program PHT bagi lingkungan, Pemerintah, petani, dan masyarakat, antara lain:
· Pemerintah dapat menghemat dana subsidi sekitar 120 milyar dolar Amerika per tahun, sementara pada saat yang sama ledakan populasi hama yang menjadi ancaman terhadap keamanan penyediaan pangan juga telah menurun drastis.
· Petani dapat menghemat biaya produksi, panen lebih terjamin, dan keadaan kesehatan keluarga serta masyarakat menjadi lebih baik.
· Kerusakan lingkungan akibat penggunaan pestisida menjadi berkurang, baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek.
· Konsumen terlindungi dari residu racun yang tidak diperlukan.
Setelah mengikuti SLPHT selama satu musim penuh, petani menurunkan penggunaan insektisida, baik yang terlarang maupun yang tidak, sementara itu hasil panen tetap dapat dipertahankan. Namun demikian, bagi kebanyakan petani, ada yang lebih penting daripada keuntungan ekonomi tersebut, yaitu berkembang pesatnya kemampuan mereka untuk melakukan analisa, pengambilan keputusan, dan pengelolaan lahan.
Mengacu kepada perkembangan di lapangan maka pada tahun 1999, Menteri Pertanian M. Prakosa menulis surat kepada Pemerintah Daerah agar melanjutkan program PHT di tingkat lapangan dari anggaran daerah, sehingga usailah Program Nasional PHT.
6. Resiko Penggunaan Pestisida terhadap Ekonomi dan Kesehatan Petani
Selama tahun 1970-an, teknologi Revolusi Hijau memasukkan insektisida ke dalam paket komponen input produksi bersama dengan pupuk, irigasi, kredit, dan benih unggul.
Di pertanaman padi daerah tropis, penelitian yang dilakukan selama 25 tahun oleh lembaga nasional Indonesia dan badan-badan internasional seperti IRRI dan FAO tidak pernah membuktikan bahwa insektisida memberikan sumbangan bagi peningkatan produksi padi ataupun peningkatan keuntungan petani. Dalam kenyataannya, penggunaan insektisida secara sembarangan, bahkan dapat mengakibatkan kehilangan hasil panen yang sangat besar akibat timbulnya resurjensi hama, seperti yang terjadi pada tahun 1975 sampai 1979, sehingga produksi padi mengalami krisis akibat serangan hama wereng coklat.
Di seluruh dunia 80% dari seluruh pestisida digunakan di negara maju. Namun demikian, diperkirakan 90% kasus keracunan pestisida, terjadi di negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa 25 juta manusia mengalami keracunan pestisida setiap tahunnya.
Dengan kondisi pedesaan yang para petaninya miskin, maka “penggunaan secara aman” dari bahan-bahan kimia yang sangat beracun tersebut, praktis tidak mungkin dilakukan. Disamping itu, secara agronomis, perlu tidaknya penggunaan pestisida pun masih dipertanyakan. Studi yang dilakukan pada tahun 1993 tenang hubnungan antara penyemprotan pestisida dengan keracunan akut pada petani Indonesia menyatakan bahwa 21% kegiatan penyemprotan mengakibatkan timbulnya tiga atau lebih gejala dan tanda keracunan pada saraf, saluran pernafasan, dan pencenaan. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa frekuensi penyemprotan per minggu, penggunaan pestisida berbahaya, dan tingkat pemaparan kulit oleh pestisida berhubungan secara signifikan dan independen dengan keracunan akut (Kinshi, et al, 1995).
Ketidakmampuan petani untuk membeli perlengkapan pelindung, panasnya iklim tropis, dan kesulitan untuk menegakkan pelaksanaan pengaturan pestisida mengakibatkan kesehatan petani dan kondisi tanamannya menjadi terkena resiko penggunaan pestisida, sekalipun dalam penggunaan yang “normal”.
Resiko terhadap kesehatan akibat pestisida tidak hanya dijumpai selama penggunaan di lahan, melainkan juga ditemukan di rumah, tempat para petani penyemprot tinggal. Delapan puluh empat persen (84%) petani yang disurvey, ternyata menyimpan bahan kimia beracun tersebut di dalam rumah dalam keadaantidak aman dan mudah dijangkau oleh anak-anak.
Racun kimia yang berbahaya bagi lingkungan, beresiko terhadap keberhalian panen, dan mengancam kesehatan manusia tersebut dipasarkan dengan menggunakan siasat pemasaran yang membujuk masyarakat, dan seringkali secara langsung melanggar Standar Pengedaran Pestisida (FAO Code of Conduct of Production and Distribution of Pesticide) yang dikeluarkan oleh FAO. Program PHT memerangi hal ini dengan cara memberikan berbagai alat analisa kepada petani agar mereka dapat mengambil keputusan sendiri, sehingga uang dan sumberdaya mereka tidak terbuang percuma, kesehatan mereka tidak terancam, tanaman mereka tidak mengalami kerugian, dan lingkungan mereka tidak mengalami kerusakan.
7. PHT oleh Petani: Pendekatan Ekologis
“PHT merupakan pendekatan ekologis sehingga sistem pertanian dipandang sebagai suatu sistem yang kompleks dan hidup. Petani belajar untuk bekerjasama dengan alam dan belajar untuk membuat dirinya mampu mencapai kapasitas yang diperlukan untuk mengelola pertanian yang produktif dan berkelanjutan. PHT juga merupakan program pengembangan sumberdaya manusia. Pelatihan PHT membantu petani untuk belajar tentang mengorganisir diri mereka sendiri dan dan masyarakatnya, untuk mengumpulkan dan menganalisa data, untuk mengambil keputusan sendiri, dan untuk menciptakan suatu jaringan kerja yang kokoh antara petani dengan petani lainnya, serta antara petani dengan penyuluh dan peneliti.” Menteri Pertanian, Prof. Dr. Sjarifudin Baharsjah, 1994.
Lebih dari Soal Hama dan Pestisida
Program Nasional PHT Indonesia berusaha memperkuat kemampuan petani, membangun organisasi petani, mempertajam ketrampilan petugas lapangan, dan menciptakan manajer lapangan yang berkualitas. Alumni SLPHT lebih sedikit menggunakan pestisida dan memperoleh lebih banyak keuntungan, dapat menjaga produksi tetap stabil, dan mampu mengambil keputusan yang didasarkan pada analisa ekosistem di lahan mereka sendiri.
Dengan menjadi kelompok inti dalam perencanaan, pelatihan, dan penelitian lapangan di wilayahnya, para petani terlibat dalam pengembangan dan penyebaran PHT. Di tahun anggaran proyek (1997/1998), SLPHT “Dari petani ke petani” melibatkan lebih dari 75.000 petani peserta.
Secara keseluruhan, analisa dan tindakan di dalam program PHT selalu berkisar diantara empat prinsip dasar:
· Membudidayakan tanaman yang sehat
· Melestarikan dan mendayagunakan peranan musuh alami (predator dan parasit)
· Mengamati kondisi lahan secara mingguan untuk mengambil keputusan tentang pengelolaan lahan.
· Memampukan petani menjadi ahli PHT dalam pengelolaan ekologi lahannya.
Metoda latihan ditekankan pada penemuan sendiri, perbandingan, dan analisa. Petani belajar untuk bekerja secara efektif dalam kelompok-kelompok kecil untuk melalukan percobaan lapangan, dan kemudian menguasai ketrampilan yang lebih kompleks seperti pelatihan, perencanaan, penelitian lapangan, dan pengorganisasian masyarakat.
8. Pemberdayaan Petani melalui Sekolah Lapangan PHT
Program Nasional PHT menghidupkan kembali sistem penyuluhan dan jaringan kelompok petani yang ada melalui pengorganisasian dan pelaksanaan SLPHT. Dengan rancangan berupa “sekolah tanpa dinding”, Sekolah Lapangan petani ini melakukan pertemuan mingguan sebanyak 12 kali selama satu musim tanam penuh, mulai dari tanam hingga panen. Setiap Sekolah Lapangan memiliki 1000 meter persegi “Petak Belajar”, yang terdiri dari 2 petak perbandingan, yaitu petak perlakuan petani dan petak PHT. Setiap minggu, petani mempraktekan analisa agro-ekosistem yang mencakup kesehatan tanaman, pengelolaan air, kondisi cuaca, gulma, pengamatan penyakit, serta pengamatan dan pengumpulan serangga hama dan serangga berguna. Petani menyimpulkan hasil pengamatannya sesuai dengan pengalaman mereka, mereka menggunakan analisa agro-ekosistem untuk membuat keputusan pengelolaan lahan dan mengembangkan cara pandang tentang proses ekologis yang seimbang. Fasilitator memberikan kesempatan kepada petani untuk menjadi ahli yang aktif, dan membantu mereka untuk mengungkapkan dan menganalisa pengalaman mereka sendiri. Selama proses tersebut, para petani:
· Membuat sendiri alat dan bahan belajar, yang meliputi koleksi serangga, “kebun serangga”, percobaan lapangan, poster, dan catatan pengamatan lapangan.
· Menciptakan dan menggunakan perangkat analisis berupa bagan analisis agro-ekosistem mingguan yang dibuat dengan krayon diatas kertas plano dan contoh hidup untuk melakukan analisis SWOT, untuk mengembangkan rencana rencana tindakan selanjutnya.
· Memecahkan permasalahan dan mengambil keputusan: petani PHT belajar untuk mengelola program mereka sendiri dan mengadakan serta menjalankan kegiatan belajar dan percobaan yang makin kompleks.
· Membangun organisasi petani yang lebih kuat dengan cara mempelajari ketrampilan dalam bidang kepemimpinan, komunikasi, dan manajemen, yang akan berguna di masa-masa berikutnya setelah Sekolah Lapangan selesai.
Semenjak 1990, lebih dari 20.000 SLPHT telah diselenggarakan. Disamping padi, Sekolah Lapangan juga diselenggarakan untuk komoditas lain, yaitu kedelai, kubis, kentang, cabe dan bawang merah. Model SLPHT juga telah diadopsi oleh berbagai kegiatan penyuluhan pertanian, dan “diekspor” ke berbagai negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Keberhasilan SLPHT telah memicu munculnya dukungan politis yang spontan dan bantuan dana dari pemerintah setempat. Para kepala Desa, Bupati, dan Gubernur secara terbuka di depan publik telah menyatakan bahwa SLPHT merupakan program pelatihan pertanian pedesaan yang paling efektif yang pernah dilaksanakan, dan mereka mewujudkan dukungan tersebut dalam bentuk bantuan dana dari anggaran pemerintah setempat.
9. Kunci Kesuksesan Program PHT
a. Percaya pada Kemampuan Petani
Falsafah “PHT oleh Petani” telah menempatkan petani sebagai pusat pengembangan PHT. Hal ini merupakan falsafah penuntun program PHT Indonesia, sekaligus merupakan penentu utama keberhasilan program ini. Melalui SLPHT, petani mampu menguasai ekologi di lahan tempat mereka bekerja, dan dengan demikian, mereka menjadi ahli di lahannya. Namun, ini baru merupakan titik awal. Lebih jauh, peran mereka semakin meningkat dan meluas, yaitu melalui pelatihan dari petani-ke petani, studi petani, dan media petani untuk menciptakan pola “komunikasi horisontal”.
b. Dukungan Kebijakan Menyeluruh
Agar PHT dapat berhasil, maka pelaksanaannya di lapangan dan pengaturan kebijakan-kebijakan pendukungnya haruslah berjalan seiring dan saling mendukung. Di tingkat pusat, para pembuat kebijakan perlu menciptakan dan memelihara pola kebijakan yang kondusif, yang mencakup pengaturan pestisida, dukungan dana, dan program pelatihan dan penelitian PHT. Di tingkat daerah, dukungan nyata dari pemerintah daerah tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa mendorong kelanjutan momentum pengembangan PHT. Untuk lebih memperkuat Gerakan PHT, maka dilakukan kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan, kelompok konsumen, pers, dan badan-badan pendukung yang terlibat dalam bidang kesehatan, lingkungan, dan pendidikan.
c. Penelitian Pendukung
PHT membutuhkan penelitian di semua tingkatan untuk mendukung pengembangan program. Terobosan penelitian dalam PHT Padi yang dihasilkan oleh badan penelitian dan universitas memungkinkan program di fase awal dapat dibangun dengan dasar ilmiah yang kuat. Penelitian yang berorientasi lapangan tentang sistem budidaya tanaman yang lain membuka jalan bagi pengembangan dan perluasan PHT. Yang paling penting, kegiatan penelitian dan studi lapangan telah dipadukan langsung ke dalam sistem yang berbasis petani sehingga memungkinkan petani, petugas penyuluhan, dan peneliti bekerja bersama untuk memperkuat dan memurnikan PHT, sebagai jawaban atas keadaan ekologi pertanian di darah tropika yang bersifat lokal spesifik.
d. Belajar dengan Cara Menentukan Sendiri
Inti keberhasilan program PHT adalah proses belajar partisipatoris dan inovatif, yang memungkinkan petani dan pemandu untuk menemukan sendiri prinsip-pronsip PHT di lahan mereka. Melalui proses ini petani menjadi pemilik – tidak hanya sekedar menjadi pelaksana – dari pengetahuan dan cara/metoda PHT. Metoda belajar PHT memungkinkan petani untuk menguasai teknik pengelolaan tanaman yang efektif, sekaligus memperoleh ketrampilan dalam hal komunikasi antar pribadi, pemecahan masalah, dan kepemimpinan melalui praktek langsung.
e. Manajemen yang Tanggap dan Mendukung Kebutuhan Lapangan
Pelaksanaan PHT dalam skala luas memerlukan sistem manajemen lapangan yang efektif, yang dapat dengan cepat memberikan tanggapan terhadap setiap kebutuhan yang selalu berkembang, dan muncul dari kelompok dan jaringan petani. Dalam PHT, petugas lapangan, dan tentu saja petani, tidak pernah hanya bergelut dengan hal-hal teknis saja karena latihan selalu berkaitan dengan pengembangan ketrampilan berorganisasi dan manajemen di semua tingkat hingga kelompok tani. Salah satu kunci keberhasilan program PHT Indonesia adalah terbentuknya suatu sistem yang kuat yang terdiri dari 2.000 Pemandu Lapangan PHT dan Petugas Lapangan yang berasal dari Direktorat Perlindungan Tanaman. Para manajer lapangan ini bertanggung jawab untuk mengembangkan strategi lokal dan memberikan tanggapan terhadap kebutuhan teknis petani, sekaligus membangun kemampuan berorganisasi para petani dalam rangka pelembagaan PHT di tingkat petani sendiri.
f. Pendekatan Ekologis
Hal yang pertama kali diperhatikan orang ketika mengunjungi SLPHT adalaha gambar analisa agro-ekosistem yang dibuat oleh petani. Dari awal, pendekatan PHT menerapkan wawasan ekologis dalam pengelolaan budidaya pertanian. PHT tidak hanya berbicara tentang serangga, melainkan lebih merupakan pendekatan yang menyeluruh/holistik, yang mencakup keseluruhan sistem secara lengkap: tanah, air, cuaca, tanaman, siklus unsur hara, jaring-jaring makanan, aliran energi, komunitas aquatik, serta isu ekonomi pertanian dan kesehatan petani. Pendekatan ini membedakan Program PHT yang sedang berjalan saat ini dengan program-program pendahulunya, dan memberikan landasan luas, yang memungkinkan PHT untuk memberikan sumbangan bagi pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
Sebagai bahan renungan semoga bermanfaat (USR)***

Rujukan:
Departemen Pertanian. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 390/Kpts/TP/600/5/1994 tentang Penyelenggaraan Program Nasional PHT, Jakarta 1994.

Gallagher, K.D. Effect of Host Plant Resistance on the Microevolution of the Rice Brown Planthopper, Nilaparvata lugens (STAL) (Homoptera: Delphacidae). Ph.D. thesis. University of California, Berkeley.1994.

Kenmore, P.E. Indonesia’s Integrated Pest Management: A Model for Asia. FAO Inter-Country Programme for Integrated Pest Control in Rice in South and Southeast Asia, 1991.

Kishi, M., N. Hirschorn, M. Djajadisastra, L.N. Saterlee. S. Strowman dan R. Dilts.
“Relationship of Pesticide Spraying to Sighns and Symtoms in Indonesia Farmers”.
Scandinavian Journal of Workplace and Enviromental Helth, 21:124-33, 1995.

Ministry of Agriculture of the Republik of Indonesia. IPM By Farmers: The Indonesian Integrated Pest anagement (IPM) Program. World Food Summit- FAO, Rome, 1996.

Oka, I.N. “Integrated Crop Pest Management with farmer participation in Indonesia”.
Reasons for Hope: Instructive Experiences in Rural development. A. Khrisna, N. Uphoff, M.J. Esman, eds. Kumarian Press, Connecticut, 1997.
.