Tentang Politik yang Baik
11.11 | Author: Urip SR
Oleh: Goenawan Mohamad
Sumber: https://www.facebook.com/KenapaJokowi?

Di sebuah rumah di Jalan Ciasem, Kebayoran Baru, Jakarta, ada sebuah papan dengan deretan tulisan, "REVOLUSI. ORANG BAIK MASUK POLITIK." Saya tertegun sejenak. Huruf-huruf "EVOL" dalam kata "REVOLUSI" itu ditulis dengan warna lain hingga bisa dibaca terbalik: "LOVE". Kalimat berikutnya seakan menegaskan sesuatu yang mengejutkan, yang baru: menghubungkan "politik" dengan "yang baik".

Sungguh, saya tertegun. Mungkin banyak orang akan begitu pula. Kalimat itu terasa mengemukakan sesuatu yang tak lazim, sebab kini betapa jauh sudah jarak antara "politik" dan "kebaikan". Sudah bertahun-tahun politik tumbuh sama dan sebangun dengan "yang tidak baik". Dengan nafsu berkuasa. Dengan ikhtiar habis-habisan untuk menang. Dengan segala jalan yang dihalalkan untuk mencapai itu -- dengan akhir yang tak kalah buruknya: ketika kekuasaan dicapai, orang yang menang, yang duduk di atas tahta, hanya merayakan diri sendiri.

Mungkinkah orang yang "baik" masuk ke arena yang busuk itu? Mungkinkah ia tak akan tercemar?

Dalam perjalanan pulang dari rumah itu, saya mencoba menjawab: Tidak mudah. Ada ucapan seorang pemikir religius yang selalu saya ingat: "Politik adalah sebuah tugas sedih, tugas menegakkan keadilan di duna yang berdosa".

Tugas sedih. Tugas tak mudah. Tapi bukan tak mungkin. Dalam sejarah, juga sejarah Republik kita, tak sedikit orang yang masuk ke kancah politik dengan niat yang teguh untuk bekerja bagi kebaikan negeri mereka dan bangsa mereka. Tanpa disadari, mereka berpegang pada arti "politik" berdasarkan akar katanya, "polis", yang berarti "kota", "negeri", tempat manusia hidup bersama sebagai manusia.

Hidup bersama sebagai manusia berarti hidup bukan untuk diri sendiri.

Dari sana tampak, politik sebenarnya sebuah arena yang tepat buat orang-orang baik.

Tapi apa gerangan yang disebut "orang baik"?

Orang baik" adalah orang yang merasakan ada yang salah dalam masyarakatnya bila masih ada mereka yang menderita: kelaparan, ketakutan, kesakitan, mungkin putus asa. Tapi "orang baik" bukanlah orang yang bebas penuh dari dosa. "Orang baik" adalah orang yang sadar: dalam bekerja ia (seperti siapa saja) bisa tergelincir ke dalam egoisme -- dan sebab itu ia berusaha benar untuk tidak.

Dan bersama dengan itu, seorang yang "baik" menyadari bahwa ia tak sendirian.

Ia membuka diri untuk dibantu, untuk diingatkan bila salah, untuk mendengar bila ia tak tahu. Ia bekerja keras dengan rendah hati. Ia tidak sibuk dengan "aku tahu, aku perkasa, aku penyelamat bangsa".

Hari-hari ini tenyata kita bisa berhimpun -- berjuta-juta, dari tempat yang berbeda-beda -- untuk menjadi "orang baik" seperti itu. Kita sudah kenyang dengan politik yang kotor. Kita sudah muak dengan poiitisi yang tak pernah menoleh, apalagi menyentuh tanah dan merasakan nasib orang lain yang di bawah. Kita berhimpun; kita ingin perubahan.

Itu sebabnya kita memilih Jokowi. Jangan salah: ia bukan tauladan kesempurnaan.

Ia seseorang yang tak bisa berpidato berapi-api di podium tetapi selalu siap mendekat kepada orang-orang yang harus dilayaninya: rakyat. Ia tak hidup berjarak dari orang banyak. Ia tak tinggal di rumah mewah di puncak bukit. Ia tak biasa dibesarkan dalam keluarga yang gemerlapan. Ya, ia seperti kebanyakan orang Indonesia: bukan tokoh yang gagah perkasa, tapi seorang saudara yang dengan hati ringan akan bekerja membantu kita, bersama kita.

KIta membutuhkan pemimpin seperti itu. Bukan orang besar.

Ada sebuah kalimat yang arif yang lahir dari sejarah Tiongkok yang panjang: "Malanglah sebuah bangsa yang dipimpin oranng besar". Sebab, sebagaimana dialami sejarah Tiongkok dengan pahit, "orang besar" hanya terbiasa dengan ide-ide besar, rencana-rencana besar, dan membutuhkan ruang kekuasaan yang besar -- dan dengan segera mengabaikan nasib mereka yang kecil, yang sehari-hari..

Pemimpin yang kita harapkan adalah pemimpin yang menganggap hidup sehari-hari sangat berarti justru untuk mencapai cita-cita yang tinggi. Dengan kata lain, pemimpin yang menunjukkan bahwa orang biasa-biasa saja bisa hidup dalam politik -- dan tetap menjaga diri jadi "orang baik".

Rasanya tulisan di papan di depan rumah di Jalan Ciasem itu bukan tentang "revolusi" yang mustahil. Saya melihat di dalamnya: para relawan yang bekerja bersama Anies Baswedan, siang malam, yang seperti beribu-ribu relawan lain, bekerja untuk perubahan.

Politik lama harus pergi. Politik baru harus lahir.
(Sumber:  https://www.facebook.com/notes/kenapa-jokowi/tentang-politik-dan-yang-baik-oleh-goenawan-mohamad/317962275035171)
This entry was posted on 11.11 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: