Sensus Burung Hantu di Lereng Lawu
15.31 | Author: Urip SR
Sensus Burung Hantu (Foto: Urip SR)
Bersama Koordinator POPT Kab. Ngawi di PPAH
Adalah Pusat Pengembangan Agens Hayati (PPAH) di Kab. Ngawi, yang menangkarkan Burung Hantu (Tyto alba) yang pertama kali melakukan penagkaran burung hantu ini, letaknya di Desa Giriharjo  yang memiliki ketinggian sekitar 450 meter dpl.  PPAH yang beralamat di Dusun Munggur RT 01 RW 02, Desa Giriharjo Kec. Ngrambe, Kab. Ngawi ini merupakan spesialis penangkar burung hantu.  Dari desa ini pula berawal penggunaan pagupon sebagai tempat / rumah bagi Tyto alba. Awalnya pada desa ini hanya ada 2 (dua) pagupon saja didirikan pada tahun 1996 di areal persawahan. Untuk mengisi pagupon tersebut diambil burung hantu yang bersarang di sekolah-sekolah, jembatan, atau pohon-pohon di sekitar desa. Dengan memindahkan anakan Tyto alba maka indukan akan ikut serta pindah ke pagupon yang telah disiapkan tersebut. Setiap pagupon diisi dengan sepasang burung hantu. Dari hasil yang telah dirasakan di desa Giriharjo, maka penyebaran pembangunan pagupon secara pelan tetapi pasti mulai meluas keseluruh kecamatan di kabupaten Ngawi melalui sosialisasi-sosialisasi pembangunan pagupon yang diadakan PPAH kepada kelompok-kelompok tani yang ada. Hingga tahun 2014 jumlah pagupon yang telah berdiri di Kabupaten Ngawi berjumlah 186 buah, yang berasal dari dana swadaya PPAH maupun dukungan dari dinas terkait.
Ngrambe adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Kecamatan ini terletak sekitar 30 km barat daya ibu kota Kabupaten Ngawi dan berhawa sejuk karena berada di lereng utara Gunung Lawu.  Di kecamatan ini merupakan pusat penangkaran Burung Hantu.
Penulis mencoba menelusuri kecamatan ini untuk menggali potensi sumber daya alam yang ada. Kecamatan Ngrambe berbatasan dengan Kecamatan Jogorogo, sebelah utara dengan Kecamatan Walikukun, dan sebelah barat berbatasandengan Kecamatan Sine. Sedang sebelah selatan berbatasan langsung dengan hutan Gunung Lawu.
Sarana transportasi menuju Ngrambe cukup mudah, meski kalau terlalu malam (di atas jam 18.30) sulit untuk didapatkan karena angkutan umum biasanya sudah tidak  tersedia.
Sebagai alternatif, bisa menggunakan jasa ojek sepeda motor. Ada 3 jalur untuk mencapai Ngrambe. Dari arah timur tersedia bus umum dari Ngawi yang bertujuan Ngrambe melalui Jogorogo. Sedangkan dari arah barat, kita dapat melalui Sine.
Dari arah utara, bisa melalui Walikukun dengan naik bus di terminal Gendingan yang dilalui jalur bus Surabaya-Yogya. Jalur ini adalah jalur terdekat dari jalan provinsi (±16 km) sehingga menjadi jalur termudah untuk mencapai Ngrambe serta didukung angkutan yang cukup banyak, karena terdapat 2 trayek bus yang menuju Ngrambe via Gendingan, yaitu bus dari arah Ngawi dan dari arah Kota Sragen.
Kegiatan PPAH awalnya merupakan misi sosial karena bentuk PPAH juga merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tetapi dengan terus berkembangnya penangkaran Tyto alba secara alami, maka PPAH mulai “kelabakan” dalam memenuhi pakan burung hantu ini di kandang karantina. Hal ini dikarenakan pakan burung hantu saat ini adalah marmut bukan lagi tikus, karena saat ini sudah sulit sekali untuk mendapatkan tikus disekitar desa. Di lain pihak permintaan akan burung hantu Tyto alba mulai berdatangan utamanya dari perkebunan-perkebunan kelapa sawit untuk mengatasi serangan hama tikus. Sejak tahun 2007, PPAH sudah mengirim lebih dari 100 pasang Tyto alba ke berbagai daerah, antara lain Gorontalo, Kutai Kertanegara, Menado, Sampit, Demak, Pontianak, Boyolali, Klaten, Yogyakarta, Blitar, Jombang, Mojokerto, Kendal, dan Tulungagung.
Saat ini, jumlah tikus di desa giriharjo sudah jauh menurun sehingga sudah biasa bagi warga melihat burung hantu mengejar tikus di wilayah pemukiman dan rumah-rumah warga di desa tersebut.
Burung hantu  dengan nama latin (Tyto alba) ini dikenali sebagai burung hantu putih yang memiliki ukuran  ± 34cm (dewasa) Muka berbentuk jantung dengan warna putih dan tepiannya coklat. Ciri lain adalah matanya menghadap kedepan, bulu lembut, berwarna tersamar, bagian atas berwarna kelabu terang dengan sejumlah garis gelap dan bercak pucat tersebar pada bulu, juga tanda mengkilat pada sayap dan punggung.
Bagian bawah berwarna putih dengan sedikit bercak hitam. Bulu pada kaki jarang. Kepala besar, kekar dan membulat. Iris mata berwana hitam. Paruh tajam, menghadap kebawah, warna keputihan. Kaki warna putih kekuningan sampai kecoklatan. Jantan-betina hampir sama dalam ukuran dan warna meski betina seringkali lebih besar 25%. Betina dan burung hantu muda umumnya punya bercak lebih rapat.
Menurut Jumangin (48) Tyto alba biasanya bertelur dalam setahun hanya sekali. Normalnya jumlah telur rata-rata 3 hingga 4 butir saja, tapi pada lokasi-lokasi yang ketersediaan pakan berlimpah maka jumlah telur dapat mencapai hingga 7 butir. Jumlah penetasan hampir mendekati angka 100% pada jumlah telur yang 3-4 butir dibanding pada jumlah telur yang 7 butir. Musim bertelur dari burung hantu ini biasanya pada bulan Juni tetapi pernah juga dijumpai burung ini bertelur pada bulan Februari, hal ini dimungkinkan pengaruh dari kelimpahan makan (tikus). Tikus biasanya mulai berkembangbiak pada bulan Mei hingga bulan Agustus mencapai puncaknya.
Proses penetasan telur burung hantu di pagupon tetap harus diawasi, karena pada telur yang menetas terlebih dahulu akan tumbuh anakan yang lebih besar dibanding dengan anakan yang dari telur yang menetas belakangan. Dan ianakan yang awal akan mulai menyerang anakan yang belakangan menetas. Untuk itu, telur yang menetas lebih dahulu harus segera dipindahkan ke tempat lain. Maka pada tahun 2004 didirikanlah kandang karantina yang bertempat di belakang kantor / sekretariat PPAH di desa Giriharjo. Burung hantu anakan akan menempati kandang karantina ini paling lama selama 3 bulan, hal ini untuk menghindari agar burung hantu tersebut tidak kehilangan naluri liarnya. Dari kandang karantina biasanya akan ditaruh pada pagupon baru atau dikirim ke daerah lain yang memesannya, jika tidak maka akan dilepaskan di habitat aslinya.
Kegiatan sensus burung hantu yang dilakukan pada bulan Agustus tahun 2014 ini untuk mengetahui populasi burung hantu dan sebaran pagupon di kecamatan Ngrambe.Dalam sejarahnya, Burung Hantu (Tyto alba javanica Gmel.) telah diintroduksi dari ekosistem perkebunan kelapa sawit ke ekosistem persawahan untuk mengendalikan hama tikus. Tikus sawah merupakan hama yang menempati urutan pertama penyebab kerusakan pada tanaman padi diantara hama utama lainnya yang ada di Indonesia. Peningkatan serangan hama tikus di daerah sentra produksi padi dampaknya sangat nyata dan dirasakan oleh petani sangat memberatkan. Pengendalian tikus yang biasa digunakan di Indonesia dengan mengandalkan rodentisida pada awalnya dapat menurunkan populasi, tetapi jangka panjang kurang menguntungkan karena akan terjadi kompensasi populasi dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu agar pengendalian dapat berkelanjutan dan dampak negatif terhadap lingkungan dapat dihindari, maka pengendalian hayati menjadi pilihan utama. Pengendalian hayati terhadap hama tikus memberikan harapan yang baik di masa mendatang. Hal ini dapat terjadi karena jika agens pengendali hayati telah mapan di suatu tempat sifatnya berkelanjutan dan ramah terhadap lingkungan. Pemanfaatan burung hantu Tyto alba javanica sebagai agens pengendali hayati hama tikus telah memberikan hasil yang cukup baik di sektor perkebunan kelapa sawit. Burung serak merupakan pemangsa tikus yang berpotensi karena kemampuan mencari dan mengkonsumsi mangsa lebih tinggi bila dibandingkan dengan pemangsa lain dari Kelas Reptilia dan Mammalia. Mangsa utama burung serak lebih dari 90% adalah jenis tikus, dengan kemampuan memangsa antara 3-5 ekor tikus per hari.
Sepasang burung hantu dapat menjangkau wilayah pengendalian seluas 25 ha. Pemanfaatan burung hantu untuk mengendalikan hama tikus selain di perkebunan kelapa sawit juga telah dirintis di beberapa ekosistem persawahan dengan mengintroduksi dari areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Beberapa wilayah di Indonesia yang telah mengintroduksi burung hantu antara lain, Bali,Jawa Tengah, Kalimantan dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Malaysia juga telah memanfaatkan burung hantu untuk mengendalikan tikus sawah (Widodo, 2000; Mangoendihardjo &Wagiman, 2001; Hafidzi, 2003 ) Namun demikian faktor-faktor yang mempengaruhi kemapanan burung hantu di ekosistem persawahan belum pernah dikaji secara mendasar. Kemapanan burung hantu dalam suatu ekosistem sangat tergantung pada ketersediaan habitat yang sesuai. Habitat adalah tempat beserta komponen-komponennya dimana burung hantu dapat hidup dan berkembang secara optimal.
Usaha penangkaran yang dipelopori oleh pak Jumangin ini  memang perlu mendapat dukungan yang serius dari semua pihak sehingga dapat sukses dan dilihat hasilnya. Kesuksesan ini juga berkat adanya kerjasama dengan Kabupaten Boyolali, Demak, Klaten, Gorontalo dan Manado. Di daerah tersebut burung hantu juga dikembangkan untuk tujuan yang sama sebagaimana di Ngawi yaitu untuk melawan hama tikus, dan daerah tersebut juga mengambil anakan burung hantu dari tempat penangkaran di Desa Giriharjo.
(Majalah Peramalan OPT Vol.13/2/Nop/2014)***
.

|
This entry was posted on 15.31 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

On 6 Juni 2016 pukul 17.51 , Vaillant Servisi mengatakan...

Vaillant Servisi olarak siz değerli müşterilerimizin memnuniyeti için günün her saati kesintisiz hizmet sunmaktayız.