(Diunduh dari "Bisikan Alam" nya Eka Budianta Kolomnis Majalah Trubus.
Lagi-lagi kita melihat yang tidak teraba dari dunia pertanian. Inilah yang sesungguhnya mahal, tidak mengenal batas pasar, bersifat rohani, dan mungkin abadi. Dalam pedesaan Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi tentu ada juga produk-produk spriritual agrikultur seperti itu. Tarian, lukisan legenda, musik, bahkan aneka ragam permainan dari dunia tani dapat diekspor kemana saja. Bubu, penangkap ikan dapat dijadikan asesoris restoran. Lesung dan garu dapat jadi perhiasan di hotel. Kisah-kisah Dewi Sri yang melindungi padi dapat difilmkan, ditulis sebagai buku, dijadikan tema turnamen kecantikan.
Kekayaan etnis ini juga yang menjadi inspirasi dan diolah secara brilian oleh produk-produk Sariayu Martha Tilaar. Itulah yang sesungguhnya wajar dan sangat potensial di Indonesia. Produk budaya sawah, ladang, sungai, hutan, dan laut kita yang tak terukur adalah mantra, dongeng, dan berbagai kearifan lokal. Contohnya dapat kita rasakan pada upacara memanggil hujan, sedekah laut, ruwatan bumi, bahkan pelayanan jasa pawang ular, pawang hujan, pawang harimau, dan seterusnya.
Dalam bentuk yang lebih populer kita melihat wisatawan mengenakan ulos pada saat ikut menari di Tapanuli, atau memakai selendang ketika masuk pura di Bali. Pengalaman agrokultural itulah yang dapat ditawarkan dalam paket-paket agrowisata , maupun untuk memperkaya dialog budaya dan pengembangan peradaban multikultural.
Gejala lain yang menggembirakan adalah semakin bertambahnya jumlah taman, kebun raya, arboretum, dan lembaga-lembaga yang mengembangkan kecintaan pada flora dan fauna. Apakah ini isyarat manusia mulai berhati-hati sebelum tersesat terlalu jauh kedalam dunia maya, atau kehidupan virtual?
Bahkan dunia pertelevisian pun, program-program yang menjual alam semakin digemari. Ada saluran televisi khusus yang bicara tentang hewan (Animal Planet) atau alam secara keseluruhan (Discovery, Travel and Living, dan National Geographyc).
Majalah-majala pertanian juga muncul bermacam-macam pilihan, baik yang orisinal, produk asli, maupun terjemahan. Artinya apa? Alam, lingkungan hidup, semakin membuktikan diri tidak hanya dikonsumsi oleh badan manusia dalam bentuk produk-produk jasmani, materi, tapi juga yang imateri, spiritual, dan untuk konsumsi intelektual.
Sudah waktunya Indonesia memperkaya dan meningkatkan kesungguhan dalam memproduksi tayangan kisah petualangan, wisata, dan siaran daerah dengan informasi yang lebih mendalam.
Kita mengenal praktek-praktek yang terkadang dianggap ghaib, seperti kemampuan memanggil ikan, bicara dengan pohon, menjinakkan buaya, dan berkomunikasi dengan tanaman. Tentu bukan untuk menanamkan takhayul dan kembali ke alam mistis, melainkan untuk memperkaya dan menyegarkan kembali khasanah budaya, khususnya yang terkait dengan pertanian.
Singkatnya, generasi penerus mesti diakrabkan lagi dengan lambaian bunga, desir ombak, tangis satwa, dan bisikan alam. Pada masa lalu, ketika harimau jawa masih belum punah, konon hubungan masyarakat dan hewan lebih baik. Kita tidak boleh menyebut ”harimau” pada saat masuk hutan. Di Jawa, kita diminta memanggil harimau dengan ”kyai” atau ”simbah”. Di Sumatera ”kakak” atau ”datuk”.
Bagaimana caranya? Ada simbol-simbol komunikasi yang dipasang dirumah. Misalnya seikat ilalang dan bumbung bambu. Sama seperti kalau ada pengantin, di depan rumah perlu dipasang janur, daun kelapa muda, sebagai tanda ada keramaian. Itulah contoh khasanah budaya pertanian yang terus dijunjung tinggi hingga sekarang.
Maka, berbahagialah Anda bila menemukan anak manusia yang sensitif pada bahasa alam.
Dia akan mampu membaca tanda-tanda dan isyarat kehidupan secara lebih cermat, lebih intim, untuk kemaslahatan banyak orang. Sudah waktunya teman-teman yang punya bakat khusus, bisa memanggil ikan di laut, mengerti arah angin, dan isyarat akan terjadinya gempa bumi, gunung meletus, dan bencana alam lainnya tampil dan mengajarkan ilmunya.
Bukan tidak mungkin, kesenjangan hubungan antara manusia dan alam telah memunculkan problem yang tidak tertangani seperti penyakit baru, flu burung, ancaman peralihan musim yang tidak menentu. Kalau saja kita mau belajar mencermati alam dengan ”ilmu titen”, masyarakat yang terbentuk akan lebih bijaksana, melebihi juru kunci Gunung Merapi yang terkenal, yaitu Mbah Marijan. Dialah yang memperkaya dunia modern dengan kearifan tradisonal.
(Disarikan dari ”Bisikan Alam” Tulisan Eka Budianta, Sastrawan, Direktur Ekskutif Tirto Utomo Foundation, Kolomnis Majalah Trubus. Dimuat di Majalah Trubus 441-Agustus-2006)
Renungan
|
This entry was posted on 06.55 and is filed under
Renungan
. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 komentar: